Masih ingatkah kita dengan sebuah kisah di masa Rasulullah? Tentang
ketaatan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya berjihad dengan
satu pesan, “Jangan pergi sebelum saya pulang”. Dan ternyata, dalam masa
kepergian suaminya, orangtuanya sakit keras. Saudara-saudaranyapun
memintanya hadir, untuk menemui orang tuanya yang sedang sakit, namun
karena ketaatannya kepada suami, dia tak juga berangkat menemui orang
tuanya hingga meninggal. Tentu, kita semua mengingatnya bukan?
Bagi kita manusia biasa, peristiwa tersebut terasa amat janggal. Tak
masuk akal. Bagaimana mungkin seorang anak mampu bertahan tidak menemui
orang tuanya yang sedang sakit keras bahkan sampai meninggal, hanya
karena taat kepada pesan suami. Mungkin, sebagian kita bahkan akan
mengumpat dan mencaci maki kepada wanita tersebut bila kita hidup di
masa itu.
Kita akan katakan kepada wanita tersebut sebagai anak yang tak
berbakti, anak yang tak tahu balas budi atas kasih sayang orang tua,
anak yang keterlaluan, tak punya perasaan, dan berbagai umpatan yang
lainnya.
Namun, apa kata Rasulullah ketika ditanya tentang kejadian itu?
Rasulullah dengan mantap menjawab, bahwa orang tua wanita tersebut masuk
surga karena telah berhasil mendidik anaknya menjadi wanita shalihah.
Subhaanallah!
Karenanya, marilah kita para orang tua berusaha sekuat tenaga, untuk
menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholihah.
Anak yang akan senantiasa mendo’akan kita kapan pun dan di manapun
berada. Anak lelaki yang mampu menjadi qowwam bagi keluarganya, dan
tetap berbakti kepada orang tuanya, serta anak perempuan yang menjadi
istri dan ibu shalihah, yang mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi
anak-anak yang shaleh dan shalihah pula.
Kepada para orang tua yang telah mengantarkan putra-putrinya ke dalam
kehidupan rumah tangga, janganlah menjadi orang tua yang egois, yang
selalu ingin didampingi anak-anak, dan tak mau melepaskan kepergiannya.
Relakan anak-anak pergi dari pangkuan kita, untuk menjalani hidup
mandiri, menjadi nahkoda kapal layar yang telah dibangunnya, sebagai
salah satu bukti kasih sayang kita kepada mereka.
Do’akan selalu, agar anak-anak lelaki kita dapat menjadi
nahkoda-nahkoda yang handal, yang mampu mengarahkan bahtera rumah tangga
menjadi rumah tangga yang barokah, penuh cinta dan kasih sayang, serta
mampu menjadi qowam bagi istri dan anak-anaknya. Do’akan pula agar
anak-anak perempuan kita dapat menjadi istri-istri sholihah, yang dapat
mencipatakan susana rumah yang bagaikan surga dunia dimata keluarganya,
mampu melahirkan anak-anak yang taat kepada Allah dan kepada kedua orang
tuanya, serta mampu memberikan rasa nyaman kepada suami dan
anak-anaknya. Hingga pada akhirnya, mereka menjadi pengantar-pengantar
kita meraih surga-Nya. Insya Allah. Aamiin.
Wallohu a’lam bbishshowwab.
Dengan hidup sederhana; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah, untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama.
Semoga Allah Yang Mahakaya mengaruniakan kekayaan yang penuh berkah, dan melindungi kita dan tipu daya kekayaan yang menjadi fitnah.
Saudaraku, salah satu penyebab maraknya korupsi di negeri kita adalah kegemaran sebagian orang terhadap kemewahan dan menggejalanya pola hidup konsumtif. Memang, tantangan untuk tampil lebih (konsumtif) sangat terbuka di sekitar kita. Tayangan televisi sering membuat standar hidup melampaui kemampuan yang kita miliki. Iklan-iklan tidak semuanya memberikan keinginan primer, tapi juga yang sekunder dan tertier yang tidak terlalu penting. Tidak dilarang kita memiliki, tapi apakah yang kita miliki ini tergolong kemewahan atau tidak? Itulah yang harus kita pertanyakan.
Lalu apa kerugian hidup bermewah-mewah? Di zaman sekarang kemewahan bisa membawa bencana. Minimal dicurigai orang lain. Siksaan pertama dari kemewahan adalah ingin pamer, ingin diketahui orang lain. Siksaan kedua dari kemewahan adalah takut ada saingan. Pemuja kemewahan akan mudah dengkinya kepada yang punya lebih. Penyakit ketiga cemas, takut rusak, takut dicuri. Makin mahal barang yang dimiliki, kita akan semakin takut kehilangan.
Pentingnya hidup sederhana
Tampaknya, pola hidup sederhana harus dibudayakan kembali di masyarakat. Tak terkecuali di keluarga kita. Kalau orangtua memberikan contoh pada anak-anaknya tentang kesederhanaan, maka anak akan terjaga dari merasa diri lebih dari orang lain, tidak senang dengan kemewahan, dan mampu mengendalikan diri dari hidup bermewah-mewah.
Saudaraku, sederhana adalah suatu keindahan. Mengapa? Karena seseorang yang sederhana akan mudah melepaskan diri dari kesombongan dan lebih mudah meraba penderitaan orang lain. Jadi bagi orang yang merasa penampilannya kurang indah, perindahlah dengan kesederhanaan. Sederhana adalah buah dari kekuatan mengendalikan keinginan.
Dalam Islam, kaya itu bukan hal yang hina, bahkan dianjurkan. Perintah zakat bisa dipenuhi kalau kita punya harta, demikian pula perintah haji. Yang dilarang itu adalah berlebih-lebihan. Dalam QS At-Takaatsur, Allah SWT dengan tegas mencela orang yang berlebih-lebihan. Memang kita harus kaya tapi tidak harus bermegah-megah. Beli apa saja asal perlu, bukan karena ingin. Keinginan itu biasanya tidak ada ujungnya. Beli semua yang kita mampu beli, asal manfaat. Kita harus punya, tapi bukan untuk pamer dan bermegah-megah, tapi untuk manfaat. Kita tidak dilarang punya barang apa saja, sepanjang barang yang dimiliki halal dan diperoleh dengan cara halal. Saya tidak mengajak untuk miskin, tapi mengajak agar kita berhati-hati dengan keinginan hidup mewah.
Satu hal yang penting, ternyata di negara manapun orang yang bersahaja itu lebih disegani, lebih dihormati daripada orang yang bergelimang kemewahan. Apalagi mewahnya tidak jelas asal-usulnya.
Rasulullah SAW adalah sosok yang sangat sederhana, walaupun harta beliau sangat banyak. Rumahnya Rasul sangat sederhana, tidak ada singgasana, tidak ada mahkota. Lalu, untuk apa Rasulullah SAW memiliki harta? Beliau menggunakan harta tersebut untuk menyebarkan risalah Islam, berdakwah, membantu fakir miskin, dan memberdayakan orang-orang yang lemah.
Dari apa yang dicontohkan Rasulullah SAW, kita harus kaya dan harus mendistribusikan kekayaan tersebut pada sebanyak-banyak orang, minimal untuk orang terdekat. Maka, bila kita memiliki uang dan kebutuhan keluarga telah terpenuhi, bersihkan dari hak orang lain dengan berzakat. Kalau masih ada lebih, maka siapkan untuk orangtua, mertua, sanak saudara yang lain, dst. Kakak-adik, keponakan, juga harus kita pikirkan. Kekayaan kita harus dapat dinikmati banyak orang.
Semoga dengan hidup sederhana; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah, untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama. Amin.
Assalamualaikum wr.wb
Semoga tulisan ini bermanfaat.
1. Aisyah binti Abu Bakar. ra.
Rasulullah menikahi Sayyidah Aisyah.ra ketika masih di Mekkah. Pernikahan ini disebutkan berdasarkan mimpi beliau. Rasulullah bersabda kepada Aisyah.ra “bahwasannya aku melihatmu dalam mimpi selama 3 hari, dimana malaikat datang kepadaku bersamamu dalam kain sutera seraya berkata “inilah istrimu”, maka aku singkapkan kain itu dari wajahmu dan aku dapati bahwa ternyata engkau (Aisyah), lalu aku berkata pada diri sendiri, jika memang ini petunjuk dari ALLAH maka aku akan segera melaksanakannya”(shahih Muslim,kitab Fadlail Al-Shahabu. Bab Fadl Aisyah. 44:2438).
Dari Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa “Jibril membawa gambar dirinya yang terbungkus dengan kain sutera hijau dan berkata “inilah istrimu didunia dan akhirat”. Dari riwayat ini maka ALLAH sesungguhnya telah memilih Aisyah ra untuk menjadi istri Rasulullah dan mengutus Jibril untuk memberitahukannya.
2. Saudah ra.
Beliau adalah Saudah binti Zam’ah Ibn Qois Al-Qursyiyah, merupakan janda dari Sukran Ibn Amru, yaitu salah seorang muslim pertama. Dua kali ikut hijrah bersama suaminya ke Habasyah, dan ketika pulang dari hijrah yang kedua inilah suaminya meninggal dunia. Dalam kondisi seperti itu, Saudah memutuskan untuk tidak kembali ke kabilahnya, karena mereka selalu memaksanya keluar dari islam serta menyakitinya dengan berbagai siksaan. Rasulullah menikahinya di Mekkah, sepeninggal istri pertama beliau, Khadijah ra. Saudah ra tergolong wanita yang sangat membutuhkan pertolongan.
3. Hafsah binti Umar Ibn Khattab
Hafsah ra merupakan janda Kunais Ibn Hudzaifah al-Anshari. Rasulullah menikahi Hafsah pada tahun 3 H, karena pertimbangan kadudukan dan kehormatan ayah Hafsah disisi Rasulullah, juga agar sama kedudukannya dengan Abu Bakar al Shiddiq dalam hal pertalian darah. Sebelumnya Umar telah menawarkan Hafsah kepada Ustman ibn Affan, beberapa saat setelah istrinya Rugayyah binti Rasulullah wafat, namun Ustman mengatakan dirinya belum berkeinginan untuk menikah lagi.Lalu Umar mengadu kepada Rasulullah, dan Rasulullah berkata bahwa Hafsah akan mendapatkan yang lebih baik dari Ustman.
4. Zainab binti Khuzaimah ra.
Beliau adalah janda Abdullah ibn Jahsy. Rasulullah menikahi nya setelah suaminya gugur sebagai syahid pada tahun 4 H.Beliau terkenal dengan kebaikan dan kelembutan hatinya terhadap fakir miskin, sehingga dijuluki “Ummul Masakin” (ibunya fakir miskin). Beliau wafat 2 bulan setelah menikah dengan Rasulullah.
5. Ummu Salmah ra.
Beliau adalah janda Abdullah ibn Abdul Asad Abu Salmah. Abdullah syahid dalam perang Uhud dan ummu Salmah menjadi Janda dengan tanggungan 4 orang anak tanpa penopang. Rasulullah menikahinya pada tahun 4 H.
6. Zainab ra.
Beliau adalah Zainab binti Jahsy ibn R’ab al-Asadiyah, Janda dari Zaid ibn Tsabit, anak angkat Rasulullah. ALLAH SWT telah melukiskan hal ini dalam Al-Quran : “Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak asa keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menceraikan istrinya, dan ketetapan ALLAH itu pasti terjadi. (QS. Al=Ahzab/33:37). Dari ayat diatas jelaslah bahwa pernikahan ini merupakan suatu contoh nyata kepada orang mukmin bahwa boleh menikahi istri anak angkat yang telah diceraikan.
7. Ummu Habibah ra.
Beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan ibn Harb ra. dan dijuluki Ummu Habibah. Seorang janda dari Ubaidillah ibn Jahsy. Bersama suaminya hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan kaum Quraisy.Tetapi suaminya meninggal dunia disana, sehingga Ummu Habibah kehilangan tempat bernaung serta tidak tahu kemana harus pergi. Rasulullah SAW menikahinya untuk memuliakan kondisi dan statusnya, serta untuk menghargai sikap dan perjuangannya. ALLAH SWT juga telah mensyaratkannya melalui mimpi kepada Ummu Habibah ra. dan iamengatakan ” Ketika Ubaidillah ibn Jahsy meningga di Habasyah, aku bermimpi ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan Ummul Mukminin, pertama aku bingung namun setelah aku takwilkan bahwa Rasulullah saw kelak akan menikahiku”. (Shifat al-Shafwah (2/43);Taqrib al-Tahdzib :747).
8. Juwairiyah ra.
Adalah putri Harist ibn Abi Dharar al-Khaza’iyyah dari bani Mustaliq. Beliau seorang janda dari Musafi’ ibn Safwan. Ayahnya seorang panglima bani Mustaliq, yang tewas oleh kaum muslimin dalam perang Murisi’. Rasulullah menikahinya pada tahun 5 H untuk menyentuh hati orang-orang bani Mustaliq. Aisyah ra. berkata “saya tidak pernah tahu ada seorang wanita yang membawa berkah besar kepada kaumnya selain dia (Juwairiyah)”. Sikap inilah yang kelak berperan besar dalam melunakkan hari Bani Mustaliq untuk masuk Islam.
9. Sofiyah ra.
Adalah putri Huyai ibn Akhtab, seorang panglima Yahudi,. Merupakan janda dari Kinanah ibn Abi al-Haqiq, yang terbunuh dalam perang Khaibar tahun 7 H, dan menjadi tawanan perang Khaibar. Nabi SAW memperlakukannya dengan baik dan memberi 2 pilihan yaitu :dibebaskan sebagai tawanan dan kembali ke kabilahnya, atau jika mau masuk ISlam ia akan dijadikan istri Beliau.Sofiyah lalu berkata “aku lebih memilih ALLAH dan Rasul-Nya”. Dalam buku Shifat al-Shofwah dikisahkan bahwa pada suatu hari Sofiyah bermimpi bahwa ada bulan yang jatuh ke kamarnya. Ketika diceritakan kepada ayahnya,. maka ayahnya sangat marah dan menampar wajah Sofiyah ra. hingga membekas sampai ia menjadi istri Nabi SAW.
10. Maimunah ra.
Yaitu putri dari Harist al-Hilaliyah, dari kabilah Bani Hilah. Rasulullah menikahinya pada akhir tahun 7 H, dalam perjalanan Beliau untuk menunaikan umroh Qadha.Menurut Qatadah dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa yang dimaksud dalam ayat 50 Surat Al-Ahzab adalah Maimunah binti Harist (Tafsir Ibnu Katsir, 5/483). “Dan perempuan mikmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya”. (QS.Al-Ahzab.33:50).
Demikianlah ke 10 istri Nabi Muhammad SAW + Siti Khadijah. Poligami diatas didasarkan untuk menolong atau sebagai tuntunan/contoh bagi umat Islam, dan BUKAN BERDASARKAN HAWA NAFSU SEMATA. Dari 11 istri Nabi SAW tersebut, hanya Aisyah ra. yang bukan janda (saat menikah).
Seorang arif melihat setan dalam keadaan telanjang di tengah-tengah
masyarakat. “Hai makhluk yang tak punya malu, mengapa kamu telanjang di
hadapan manusia?” tegur sang arif. “Mereka bukan manusia, mereka kera.”
Sesungguhnya sudah sejak lama Al-Ghazali menulis dalam Ihya`, Dzahaban
naas wa baqiyan nasnaas (Telah pergi manusia, yang tertinggal hanya
kera) “Jika kamu ingin melihat manusia, ikutlah aku ke pasar,” lanjut
sang setan.
Orang arif itu lalu pergi bersama setan ke pasar. Sesampainya di
pasar, setan itu menjelma seorang laki-laki dan langsung menuju ke toko
yang paling besar. Toko itu hanya menjual permata yang berkualitas
tinggi dengan harga yang amat mahal.
“Coba lihat permata itu,” kata setan kepada pemilik toko sambil
menunjuk permata yang paling besar. Pemilik toko mengambil permata itu
lalu menyerahkannya kepada setan. Ketika permata berpindah ke tangan
setan, pemilik toko mendengar muadzin menyerukan: hayya `alash sholaah
(Marilah salat) Pemilik toko segera mengambil kembali permatanya. “Kamu
pasti setan. Tak ada yang datang pada waktu seperti ini kecuali setan,”
kata pemilik toko. Kemudian ia mengusir si setan. Setelah setan pergi,
ia lalu menghancurkan permata itu dengan batu.
“Permata ini tidak ada berkahnya,” kata pemilik toko. Kemudian ia keluar untuk salat.
Allah berfirman: “Laki-laki yang perniagaan dan jual beli tidak dapat melalaikannya dari mengingat Allah.” (QS An-Nur, 24:37)
Dalam surat Al-Muzzammil, Allah menyejajarkan para pedagang dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Dan orang-orang yang berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang lain yang berperang di jalan Allah. (QS Al-Muzzammil, 73:20)
Perdagangan untuk mencari kesejahteraan di dunia tidaklah tercela.
Sebaik-baik urusan dunia adalah yang dapat menjadi tunggangan menuju
akhirat. Adapun yang tercela adalah jika kita selalu tenggelam dalam
urusan keduniaan, hati kita selalu terikat pada dunia sehingga kita
melalaikan hak-hak dan perintah-perintah Allah. Yang terpuji adalah
hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan. Hidup berlebih-lebihan membuat
seseorang terlambat masuk surga.
Seorang bermimpi melihat Malik bin Dinar berlomba-lomba dengan
Muhammad bin Wasi’ menuju surga. Ia menyaksikan bahwa Muhammad bin Wasi`
akhirnya dapat mendahului Malik bin Dinar. Orang itu kemudian bertanya
mengapa demikian kejadiannya, karena menurut perkiraannya Malik bin
Dinar bakal menang. Kaum salihin menjawab bahwa ketika meninggal dunia
Muhammad bin Wasi’ hanya meninggalkan sepotong pakaian, sedang Malik
meninggalkan dua potong pakaian.
Jika seorang arif seperti Malik bin Dinar dapat tertinggal hanya
karena pakaian, lalu bagaimana dengan kita. Lemari kita penuh dengan
pakaian, dan kita pun masih merasa belum cukup.
Ya Allah, jadikanlah kami puas dengan rezeki yang Engkau
karuniakan. Berkahilah apa yang telah Engkau berikan. Dan jangan jadikan
(bagi kami) dunia sebagai puncak perhatian dan pengetahuan. (I:511)
Abu Dzar al-Ghiffari ra. sebelum memeluk Islam adalah seorang
perampok para kabilah di padang pasir, berasal dari suku Ghiffar yang
terkenal dengan sebutan binatang buas malam dan hantu kegelapan. Hanya
dengan hidayah Allah akhirnya ia memeluk Islam (dalam urutan kelima atau
keenam), dan lewat dakwahnya pula seluruh penduduk suku Ghiffar dan
suku tetangganya, suku Aslam mengikutinya memeluk Islam.
Disamping sifatnya yang radikal dan revolusioner, Abu Dzar ternyata
seorang yang zuhud (meninggalkan kesenangan dunia dan mengecilkan nilai
dunia dibanding akhirat), berta’wa dan wara’ (sangat hati-hati dan
teliti). Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada di dunia ini orang
yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar”, dikali lain beliau SAW
bersabda, “Abu Dzar — diantara umatku — memiliki sifat zuhud seperti Isa
ibn Maryam”.
Pernah suatu hari Abu Dzar berkata di hadapan banyak orang, “Ada
tujuh wasiat Rasulullah SAW yang selalu kupegang teguh. Aku disuruhnya
agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri dengan mereka.
Dalam hal harta, aku disuruhnya memandang ke bawah dan tidak ke atas
(pemilik harta dan kekuasaan)). Aku disuruhnya agar tidak meminta
pertolongan dari orang lain. Aku disuruhnya mengatakan hal yang benar
seberapa besarpun resikonya. Aku disuruhnya agar tidak pernah takut
membela agama Allah. Dan aku disuruhnya agar memperbanyak menyebut ‘La
Haula Walaa Quwwata Illa Billah’. “
Dipinggangnya selalu tersandang pedang yang sangat tajam yang
digunakannya untuk menebas musuh-musuh Islam. Ketika Rasulullah bersabda
padanya, “Maukah kamu kutunjukkan yang lebih baik dari pedangmu?
(Yaitu) Bersabarlah hingga kamu bertemu denganku (di akhirat)”, maka
sejak itu ia mengganti pedangnya dengan lidahnya yang ternyata lebih
tajam dari pedangnya.
Dengan lidahnya ia berteriak di jalanan, lembah, padang pasir dan
sudut kota menyampaikan protesnya kepada para penguasa yang rajin
menumpuk harta di masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Setiap kali turun
ke jalan, keliling kota, ratusan orang mengikuti di belakangnya, dan
ikut meneriakkan kata-katanya yang menjadi panji yang sangat terkenal
dan sering diulang-ulang, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang
menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan api neraka,
kening dan pinggang mereka akan diseterika dihari kiamat!”
Teriakan-teriakannya telah menggetarkan seluruh penguasa di jazirah
Arab. Ketika para penguasa saat itu melarangnya, dengan lantang ia
berkata, “Demi Allah yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya! Sekiranya
tuan-tuan sekalian menaruh pedang diatas pundakku, sedang mulutku masih
sempat menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar darinya, pastilah
akan kusampaikan sebelum tuan-tuan menebas batang leherku”
Sepak terjangnya menyebabkan penguasa tertinggi saat itu Ustman bin
Affan turun tangan untuk menengahi. Ustman bin Affan menawarkan tempat
tinggal dan berbagai kenikmatan, tapi Abu Dzar yang zuhud berkata, “aku
tidak butuh dunia kalian!”.
Akhir hidupnya sangat mengiris hati. Istrinya bertutur, “Ketika Abu
Dzar akan meninggal, aku menangis. Abu Dzar kemudian bertanya, “Mengapa
engkau menangis wahai istriku? Aku jawab, “Bagaimana aku tidak menangis,
engkau sekarat di hamparan padang pasir sedang aku tidak mempunyai kain
yang cukup untuk mengkafanimu dan tidak ada orang yang akan membantuku
menguburkanmu”.
Namun akhirnya dengan pertolongan Allah serombongan musafir yang
dipimpin oleh Abdullah bin Ma’ud ra (salah seorang sahabat Rasulullah
SAW juga) melewatinya. Abdullah bin Mas’ud pun membantunya dan berkata,
“Benarlah ucapan Rasulullah!. Kamu berjalan sebatang kara, mati sebatang
kara, dan nantinya (di akhirat) dibangkitkan sebatang kara”.
Hidup kadang tak ubahnya seperti merawat bunga mahal. Perlu
ketelitian dan kesabaran agar bunga tetap indah. Sedikit saja sembrono,
bukan saja bunga indah menjadi layu. Tapi, penyakitnya bisa menular ke
bunga lain.
Ada yang gelisah ketika sampai tiga kali Rasulullah saw. menyebut
akan datang ahli surga. Dan tiga kali pula orang yang datang selalu dia.
Beliau adalah Saad bin Abi Waqash. Kegelisahan pun menjadikan Abdullah
bin Umar menyatakan diri ingin bertandang ke rumah Saad.
Satu hari ia bermalam di rumah Saad, tapi hasilnya biasa-biasa saja.
Tidak ada ibadah istimewa yang berbeda dengan yang biasa diamalkan para
sahabat lain. Hingga lebih dari dua malam, Ibnu Umar terus terang. “Saya
cuma ingin tahu, amal istimewa apa yang Anda lakukan hingga Rasul
menyebut Anda ahli surga,” begitulah kira-kira ucap putera Umar bin
Khathab ini.
Saad dengan tanpa sedikit pun merasa bangga mengatakan, “Tidak ada
perbuatan ibadah saya yang istimewa. Kecuali, tiap menjelang tidur, saya
selalu membersihkan hati saya dari hasad, kecewa, dan benci dengan
semua saudara mukmin selama pagi hingga malam. Itu saja!” Seperti itulah
jawaban Saad. Sederhana, tapi istimewa.
Berbeda dengan Ibnu Umar, Thalhah pun pernah gelisah. Beliau khawatir
kalau sebuah ayat yang baru saja turun berkenaan dengan dirinya. Ayat
itu berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS. 3: 92)
Soalnya, ada satu kebun kurma subur milik Thalhah yang begitu
menambat hatinya. Hampir tiap hari ia berkunjung ke situ. Shalat Zuhur
dan Ashar di situ, tilawah dan zikir pun di kebun indah itu. Ia nikmati
kicauan burung, dan pemandangan sejuk hijaunya dedaunan kurma.
Menariknya, kegelisahan itu tidak ia tanyakan ke Rasulullah. Tapi,
langsung ia infakkan buat jalan dakwah. Ia nyatakan di hadapan Rasul
kalau kebun kesayangannya itu diwakafkan buat kepentingan perjuangan
Islam. Subhanallah!
Begitulah para sahabat Rasul. Mereka begitu gelisah ketika diri belum
berhasil menangkap peluang kebaikan. Padahal, peluang itu sudah
ditawarkan melalui ayat Alquran yang baru saja turun atau ucapan Rasul.
Kegelisahan itu belum akan sembuh hingga mereka benar-benar telah
mengambil peluang itu dengan sebaik-baiknya.
Itulah sikap ihsan yang dicontohkan para sahabat dalam menata diri.
Mereka begitu menjaga mutu amal agar tetap the best. Selalu terdepan.
Tidak heran jika semangat fastabiqul khairat atau lomba berbuat baik
begitu memasyarakat di kalangan sahabat Rasul.
Mereka seperti terbingkai dalam sebuah ayat Alquran tentang generasi pewaris Nabi. Dalam surah Faathir ayat 32.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di
antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Sikap ihsan itulah yang menjadikan para sahabat Rasul selalu punya
hubungan harmonis dengan Yang Maha Penyayang, Allah swt. Hati mereka
begitu terpaut dengan mutu ibadah yang serba terbaik. Tidak heran jika
berkah kemenangan selalu memancar di tiap sepak terjang perjuangan
mereka. Siapa pun yang mereka lawan. Dan seperti apa pun kendala
perjuangan yang mereka hadapi.
Begitu pun dalam hubungan muamalah sesama manusia. Mereka tidak
sedang menyulam benang vertikal sementara tali horisontal terburai.
Hubungan kepada Allah selalu the best, dan kepada manusia sangat
terawat. Tidak ada hubungan dagang, perjanjian, hidup bertetangga yang
cacat.
Mereka begitu sempurna karena setidaknya ada tiga hal. Pertama,
pemahaman dan ketaatan yang begitu utuh terhadap aturan Islam. Mungkin
ini wajar karena Islam yang mereka peroleh langsung dari sumbernya yang
pertama, Rasulullah saw.
Kedua, kehausan mereka dengan ilmu selalu berdampak pada perubahan
dalam diri dan amal di hadapan manusia. Ini mungkin yang mahal. Mereka
belajar Islam bukan buat sekadar ilmu pengetahuan. Apalagi, cuma kliping
materi. Tapi, benar-benar sebagai penuntun langkah yang segera mereka
ayunkan.
Dan ketiga, adanya keteladanan dari pihak yang sangat mereka hormati.
Inilah yang mungkin langka. Tapi, ini pula yang akhirnya menentukan.
Membumi tidaknya sebuah nilai di tengah masyarakat sangat bergantung
dari sepak terjang pelopornya. Cocokkah antara ucapan dan perbuatan.
Jika klop, nilai akan berkembang pesat. Tapi jika sebaliknya, sebuah
nilai hanya sekadar kumpulan pengetahuan yang cuma bagus dalam lemari
pajangan.
Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
‘Aku dan orang yang mengikutiku’. Itulah simbol keteladanan yang berbuah ketaatan dan semangat kerja yang selalu membara.
Dalam hal apa pun, Allah swt. meminta hamba-hambaNya untuk selalu ihsan. Termasuk dengan hewan. “Sesungguhnya
Allah swt. mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu. Apabila kamu
membunuh, hendaknya membunuh dengan cara yang baik. Dan jika
menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik: menajamkan pisau
dan menyenangkan hewan sembelihan itu.” (HR. Muslim)
Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para
sahabat. Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba
Rasulullah berhenti sejenak dan berkata,”Akan hadir diantara kalian
seorang calon penghuni surga”. Para sahabat pun bertanya-tanya dalam
hati, siapakah orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan
antusias mereka menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang
ke arah pintu.
Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid.
Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih
dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di
antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy.
Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar
keistimewaan dia.
Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari
selanjutnya. Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian
seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian
muncul.
Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang i-laki itulah yang
dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan
istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah
menjulukinya sebagai calon penghuni surga?
Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara
mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari,
sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah
laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.
Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus
mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki
makan, si sahabat ikut makan. Saat si laki-laki mengerjakan pekerjaan
rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa
saja. “Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus,” pikirnya. Tapi
ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan
ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur’an dan mengerjakan
ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun
tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.
Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang
istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon
penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.
Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya
bermalam. Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia
bertanya, “Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau
lakukan sehingga kau disebut salah satu calon penghuni surga oleh
Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu”.
Si laki-laki menjawab, “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam
kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan
biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu.
Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan
orang-orang yang menyakitiku dan kubuang semua iri, dengki, dendam dan
perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur
dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang
menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian.”
Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi berseri-seri.
“Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu
para sahabat mengenai hal ini”. Sang sahabat pun pamit dengan membawa
pelajaran berharga.