Masih ingatkah kita dengan sebuah kisah di masa Rasulullah? Tentang
ketaatan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya berjihad dengan
satu pesan, “Jangan pergi sebelum saya pulang”. Dan ternyata, dalam masa
kepergian suaminya, orangtuanya sakit keras. Saudara-saudaranyapun
memintanya hadir, untuk menemui orang tuanya yang sedang sakit, namun
karena ketaatannya kepada suami, dia tak juga berangkat menemui orang
tuanya hingga meninggal. Tentu, kita semua mengingatnya bukan?
Bagi kita manusia biasa, peristiwa tersebut terasa amat janggal. Tak
masuk akal. Bagaimana mungkin seorang anak mampu bertahan tidak menemui
orang tuanya yang sedang sakit keras bahkan sampai meninggal, hanya
karena taat kepada pesan suami. Mungkin, sebagian kita bahkan akan
mengumpat dan mencaci maki kepada wanita tersebut bila kita hidup di
masa itu.
Kita akan katakan kepada wanita tersebut sebagai anak yang tak
berbakti, anak yang tak tahu balas budi atas kasih sayang orang tua,
anak yang keterlaluan, tak punya perasaan, dan berbagai umpatan yang
lainnya.
Namun, apa kata Rasulullah ketika ditanya tentang kejadian itu?
Rasulullah dengan mantap menjawab, bahwa orang tua wanita tersebut masuk
surga karena telah berhasil mendidik anaknya menjadi wanita shalihah.
Subhaanallah!
Karenanya, marilah kita para orang tua berusaha sekuat tenaga, untuk
menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholihah.
Anak yang akan senantiasa mendo’akan kita kapan pun dan di manapun
berada. Anak lelaki yang mampu menjadi qowwam bagi keluarganya, dan
tetap berbakti kepada orang tuanya, serta anak perempuan yang menjadi
istri dan ibu shalihah, yang mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi
anak-anak yang shaleh dan shalihah pula.
Kepada para orang tua yang telah mengantarkan putra-putrinya ke dalam
kehidupan rumah tangga, janganlah menjadi orang tua yang egois, yang
selalu ingin didampingi anak-anak, dan tak mau melepaskan kepergiannya.
Relakan anak-anak pergi dari pangkuan kita, untuk menjalani hidup
mandiri, menjadi nahkoda kapal layar yang telah dibangunnya, sebagai
salah satu bukti kasih sayang kita kepada mereka.
Do’akan selalu, agar anak-anak lelaki kita dapat menjadi
nahkoda-nahkoda yang handal, yang mampu mengarahkan bahtera rumah tangga
menjadi rumah tangga yang barokah, penuh cinta dan kasih sayang, serta
mampu menjadi qowam bagi istri dan anak-anaknya. Do’akan pula agar
anak-anak perempuan kita dapat menjadi istri-istri sholihah, yang dapat
mencipatakan susana rumah yang bagaikan surga dunia dimata keluarganya,
mampu melahirkan anak-anak yang taat kepada Allah dan kepada kedua orang
tuanya, serta mampu memberikan rasa nyaman kepada suami dan
anak-anaknya. Hingga pada akhirnya, mereka menjadi pengantar-pengantar
kita meraih surga-Nya. Insya Allah. Aamiin.
Wallohu a’lam bbishshowwab.
Dengan hidup sederhana; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah, untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama.
Semoga Allah Yang Mahakaya mengaruniakan kekayaan yang penuh berkah, dan melindungi kita dan tipu daya kekayaan yang menjadi fitnah.
Saudaraku, salah satu penyebab maraknya korupsi di negeri kita adalah kegemaran sebagian orang terhadap kemewahan dan menggejalanya pola hidup konsumtif. Memang, tantangan untuk tampil lebih (konsumtif) sangat terbuka di sekitar kita. Tayangan televisi sering membuat standar hidup melampaui kemampuan yang kita miliki. Iklan-iklan tidak semuanya memberikan keinginan primer, tapi juga yang sekunder dan tertier yang tidak terlalu penting. Tidak dilarang kita memiliki, tapi apakah yang kita miliki ini tergolong kemewahan atau tidak? Itulah yang harus kita pertanyakan.
Lalu apa kerugian hidup bermewah-mewah? Di zaman sekarang kemewahan bisa membawa bencana. Minimal dicurigai orang lain. Siksaan pertama dari kemewahan adalah ingin pamer, ingin diketahui orang lain. Siksaan kedua dari kemewahan adalah takut ada saingan. Pemuja kemewahan akan mudah dengkinya kepada yang punya lebih. Penyakit ketiga cemas, takut rusak, takut dicuri. Makin mahal barang yang dimiliki, kita akan semakin takut kehilangan.
Pentingnya hidup sederhana
Tampaknya, pola hidup sederhana harus dibudayakan kembali di masyarakat. Tak terkecuali di keluarga kita. Kalau orangtua memberikan contoh pada anak-anaknya tentang kesederhanaan, maka anak akan terjaga dari merasa diri lebih dari orang lain, tidak senang dengan kemewahan, dan mampu mengendalikan diri dari hidup bermewah-mewah.
Saudaraku, sederhana adalah suatu keindahan. Mengapa? Karena seseorang yang sederhana akan mudah melepaskan diri dari kesombongan dan lebih mudah meraba penderitaan orang lain. Jadi bagi orang yang merasa penampilannya kurang indah, perindahlah dengan kesederhanaan. Sederhana adalah buah dari kekuatan mengendalikan keinginan.
Dalam Islam, kaya itu bukan hal yang hina, bahkan dianjurkan. Perintah zakat bisa dipenuhi kalau kita punya harta, demikian pula perintah haji. Yang dilarang itu adalah berlebih-lebihan. Dalam QS At-Takaatsur, Allah SWT dengan tegas mencela orang yang berlebih-lebihan. Memang kita harus kaya tapi tidak harus bermegah-megah. Beli apa saja asal perlu, bukan karena ingin. Keinginan itu biasanya tidak ada ujungnya. Beli semua yang kita mampu beli, asal manfaat. Kita harus punya, tapi bukan untuk pamer dan bermegah-megah, tapi untuk manfaat. Kita tidak dilarang punya barang apa saja, sepanjang barang yang dimiliki halal dan diperoleh dengan cara halal. Saya tidak mengajak untuk miskin, tapi mengajak agar kita berhati-hati dengan keinginan hidup mewah.
Satu hal yang penting, ternyata di negara manapun orang yang bersahaja itu lebih disegani, lebih dihormati daripada orang yang bergelimang kemewahan. Apalagi mewahnya tidak jelas asal-usulnya.
Rasulullah SAW adalah sosok yang sangat sederhana, walaupun harta beliau sangat banyak. Rumahnya Rasul sangat sederhana, tidak ada singgasana, tidak ada mahkota. Lalu, untuk apa Rasulullah SAW memiliki harta? Beliau menggunakan harta tersebut untuk menyebarkan risalah Islam, berdakwah, membantu fakir miskin, dan memberdayakan orang-orang yang lemah.
Dari apa yang dicontohkan Rasulullah SAW, kita harus kaya dan harus mendistribusikan kekayaan tersebut pada sebanyak-banyak orang, minimal untuk orang terdekat. Maka, bila kita memiliki uang dan kebutuhan keluarga telah terpenuhi, bersihkan dari hak orang lain dengan berzakat. Kalau masih ada lebih, maka siapkan untuk orangtua, mertua, sanak saudara yang lain, dst. Kakak-adik, keponakan, juga harus kita pikirkan. Kekayaan kita harus dapat dinikmati banyak orang.
Semoga dengan hidup sederhana; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah, untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama. Amin.
Assalamualaikum wr.wb
Semoga tulisan ini bermanfaat.
1. Aisyah binti Abu Bakar. ra.
Rasulullah menikahi Sayyidah Aisyah.ra ketika masih di Mekkah. Pernikahan ini disebutkan berdasarkan mimpi beliau. Rasulullah bersabda kepada Aisyah.ra “bahwasannya aku melihatmu dalam mimpi selama 3 hari, dimana malaikat datang kepadaku bersamamu dalam kain sutera seraya berkata “inilah istrimu”, maka aku singkapkan kain itu dari wajahmu dan aku dapati bahwa ternyata engkau (Aisyah), lalu aku berkata pada diri sendiri, jika memang ini petunjuk dari ALLAH maka aku akan segera melaksanakannya”(shahih Muslim,kitab Fadlail Al-Shahabu. Bab Fadl Aisyah. 44:2438).
Dari Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa “Jibril membawa gambar dirinya yang terbungkus dengan kain sutera hijau dan berkata “inilah istrimu didunia dan akhirat”. Dari riwayat ini maka ALLAH sesungguhnya telah memilih Aisyah ra untuk menjadi istri Rasulullah dan mengutus Jibril untuk memberitahukannya.
2. Saudah ra.
Beliau adalah Saudah binti Zam’ah Ibn Qois Al-Qursyiyah, merupakan janda dari Sukran Ibn Amru, yaitu salah seorang muslim pertama. Dua kali ikut hijrah bersama suaminya ke Habasyah, dan ketika pulang dari hijrah yang kedua inilah suaminya meninggal dunia. Dalam kondisi seperti itu, Saudah memutuskan untuk tidak kembali ke kabilahnya, karena mereka selalu memaksanya keluar dari islam serta menyakitinya dengan berbagai siksaan. Rasulullah menikahinya di Mekkah, sepeninggal istri pertama beliau, Khadijah ra. Saudah ra tergolong wanita yang sangat membutuhkan pertolongan.
3. Hafsah binti Umar Ibn Khattab
Hafsah ra merupakan janda Kunais Ibn Hudzaifah al-Anshari. Rasulullah menikahi Hafsah pada tahun 3 H, karena pertimbangan kadudukan dan kehormatan ayah Hafsah disisi Rasulullah, juga agar sama kedudukannya dengan Abu Bakar al Shiddiq dalam hal pertalian darah. Sebelumnya Umar telah menawarkan Hafsah kepada Ustman ibn Affan, beberapa saat setelah istrinya Rugayyah binti Rasulullah wafat, namun Ustman mengatakan dirinya belum berkeinginan untuk menikah lagi.Lalu Umar mengadu kepada Rasulullah, dan Rasulullah berkata bahwa Hafsah akan mendapatkan yang lebih baik dari Ustman.
4. Zainab binti Khuzaimah ra.
Beliau adalah janda Abdullah ibn Jahsy. Rasulullah menikahi nya setelah suaminya gugur sebagai syahid pada tahun 4 H.Beliau terkenal dengan kebaikan dan kelembutan hatinya terhadap fakir miskin, sehingga dijuluki “Ummul Masakin” (ibunya fakir miskin). Beliau wafat 2 bulan setelah menikah dengan Rasulullah.
5. Ummu Salmah ra.
Beliau adalah janda Abdullah ibn Abdul Asad Abu Salmah. Abdullah syahid dalam perang Uhud dan ummu Salmah menjadi Janda dengan tanggungan 4 orang anak tanpa penopang. Rasulullah menikahinya pada tahun 4 H.
6. Zainab ra.
Beliau adalah Zainab binti Jahsy ibn R’ab al-Asadiyah, Janda dari Zaid ibn Tsabit, anak angkat Rasulullah. ALLAH SWT telah melukiskan hal ini dalam Al-Quran : “Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak asa keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menceraikan istrinya, dan ketetapan ALLAH itu pasti terjadi. (QS. Al=Ahzab/33:37). Dari ayat diatas jelaslah bahwa pernikahan ini merupakan suatu contoh nyata kepada orang mukmin bahwa boleh menikahi istri anak angkat yang telah diceraikan.
7. Ummu Habibah ra.
Beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan ibn Harb ra. dan dijuluki Ummu Habibah. Seorang janda dari Ubaidillah ibn Jahsy. Bersama suaminya hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan kaum Quraisy.Tetapi suaminya meninggal dunia disana, sehingga Ummu Habibah kehilangan tempat bernaung serta tidak tahu kemana harus pergi. Rasulullah SAW menikahinya untuk memuliakan kondisi dan statusnya, serta untuk menghargai sikap dan perjuangannya. ALLAH SWT juga telah mensyaratkannya melalui mimpi kepada Ummu Habibah ra. dan iamengatakan ” Ketika Ubaidillah ibn Jahsy meningga di Habasyah, aku bermimpi ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan Ummul Mukminin, pertama aku bingung namun setelah aku takwilkan bahwa Rasulullah saw kelak akan menikahiku”. (Shifat al-Shafwah (2/43);Taqrib al-Tahdzib :747).
8. Juwairiyah ra.
Adalah putri Harist ibn Abi Dharar al-Khaza’iyyah dari bani Mustaliq. Beliau seorang janda dari Musafi’ ibn Safwan. Ayahnya seorang panglima bani Mustaliq, yang tewas oleh kaum muslimin dalam perang Murisi’. Rasulullah menikahinya pada tahun 5 H untuk menyentuh hati orang-orang bani Mustaliq. Aisyah ra. berkata “saya tidak pernah tahu ada seorang wanita yang membawa berkah besar kepada kaumnya selain dia (Juwairiyah)”. Sikap inilah yang kelak berperan besar dalam melunakkan hari Bani Mustaliq untuk masuk Islam.
9. Sofiyah ra.
Adalah putri Huyai ibn Akhtab, seorang panglima Yahudi,. Merupakan janda dari Kinanah ibn Abi al-Haqiq, yang terbunuh dalam perang Khaibar tahun 7 H, dan menjadi tawanan perang Khaibar. Nabi SAW memperlakukannya dengan baik dan memberi 2 pilihan yaitu :dibebaskan sebagai tawanan dan kembali ke kabilahnya, atau jika mau masuk ISlam ia akan dijadikan istri Beliau.Sofiyah lalu berkata “aku lebih memilih ALLAH dan Rasul-Nya”. Dalam buku Shifat al-Shofwah dikisahkan bahwa pada suatu hari Sofiyah bermimpi bahwa ada bulan yang jatuh ke kamarnya. Ketika diceritakan kepada ayahnya,. maka ayahnya sangat marah dan menampar wajah Sofiyah ra. hingga membekas sampai ia menjadi istri Nabi SAW.
10. Maimunah ra.
Yaitu putri dari Harist al-Hilaliyah, dari kabilah Bani Hilah. Rasulullah menikahinya pada akhir tahun 7 H, dalam perjalanan Beliau untuk menunaikan umroh Qadha.Menurut Qatadah dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa yang dimaksud dalam ayat 50 Surat Al-Ahzab adalah Maimunah binti Harist (Tafsir Ibnu Katsir, 5/483). “Dan perempuan mikmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya”. (QS.Al-Ahzab.33:50).
Demikianlah ke 10 istri Nabi Muhammad SAW + Siti Khadijah. Poligami diatas didasarkan untuk menolong atau sebagai tuntunan/contoh bagi umat Islam, dan BUKAN BERDASARKAN HAWA NAFSU SEMATA. Dari 11 istri Nabi SAW tersebut, hanya Aisyah ra. yang bukan janda (saat menikah).
Seorang arif melihat setan dalam keadaan telanjang di tengah-tengah
masyarakat. “Hai makhluk yang tak punya malu, mengapa kamu telanjang di
hadapan manusia?” tegur sang arif. “Mereka bukan manusia, mereka kera.”
Sesungguhnya sudah sejak lama Al-Ghazali menulis dalam Ihya`, Dzahaban
naas wa baqiyan nasnaas (Telah pergi manusia, yang tertinggal hanya
kera) “Jika kamu ingin melihat manusia, ikutlah aku ke pasar,” lanjut
sang setan.
Orang arif itu lalu pergi bersama setan ke pasar. Sesampainya di
pasar, setan itu menjelma seorang laki-laki dan langsung menuju ke toko
yang paling besar. Toko itu hanya menjual permata yang berkualitas
tinggi dengan harga yang amat mahal.
“Coba lihat permata itu,” kata setan kepada pemilik toko sambil
menunjuk permata yang paling besar. Pemilik toko mengambil permata itu
lalu menyerahkannya kepada setan. Ketika permata berpindah ke tangan
setan, pemilik toko mendengar muadzin menyerukan: hayya `alash sholaah
(Marilah salat) Pemilik toko segera mengambil kembali permatanya. “Kamu
pasti setan. Tak ada yang datang pada waktu seperti ini kecuali setan,”
kata pemilik toko. Kemudian ia mengusir si setan. Setelah setan pergi,
ia lalu menghancurkan permata itu dengan batu.
“Permata ini tidak ada berkahnya,” kata pemilik toko. Kemudian ia keluar untuk salat.
Allah berfirman: “Laki-laki yang perniagaan dan jual beli tidak dapat melalaikannya dari mengingat Allah.” (QS An-Nur, 24:37)
Dalam surat Al-Muzzammil, Allah menyejajarkan para pedagang dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Dan orang-orang yang berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang lain yang berperang di jalan Allah. (QS Al-Muzzammil, 73:20)
Perdagangan untuk mencari kesejahteraan di dunia tidaklah tercela.
Sebaik-baik urusan dunia adalah yang dapat menjadi tunggangan menuju
akhirat. Adapun yang tercela adalah jika kita selalu tenggelam dalam
urusan keduniaan, hati kita selalu terikat pada dunia sehingga kita
melalaikan hak-hak dan perintah-perintah Allah. Yang terpuji adalah
hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan. Hidup berlebih-lebihan membuat
seseorang terlambat masuk surga.
Seorang bermimpi melihat Malik bin Dinar berlomba-lomba dengan
Muhammad bin Wasi’ menuju surga. Ia menyaksikan bahwa Muhammad bin Wasi`
akhirnya dapat mendahului Malik bin Dinar. Orang itu kemudian bertanya
mengapa demikian kejadiannya, karena menurut perkiraannya Malik bin
Dinar bakal menang. Kaum salihin menjawab bahwa ketika meninggal dunia
Muhammad bin Wasi’ hanya meninggalkan sepotong pakaian, sedang Malik
meninggalkan dua potong pakaian.
Jika seorang arif seperti Malik bin Dinar dapat tertinggal hanya
karena pakaian, lalu bagaimana dengan kita. Lemari kita penuh dengan
pakaian, dan kita pun masih merasa belum cukup.
Ya Allah, jadikanlah kami puas dengan rezeki yang Engkau
karuniakan. Berkahilah apa yang telah Engkau berikan. Dan jangan jadikan
(bagi kami) dunia sebagai puncak perhatian dan pengetahuan. (I:511)
Abu Dzar al-Ghiffari ra. sebelum memeluk Islam adalah seorang
perampok para kabilah di padang pasir, berasal dari suku Ghiffar yang
terkenal dengan sebutan binatang buas malam dan hantu kegelapan. Hanya
dengan hidayah Allah akhirnya ia memeluk Islam (dalam urutan kelima atau
keenam), dan lewat dakwahnya pula seluruh penduduk suku Ghiffar dan
suku tetangganya, suku Aslam mengikutinya memeluk Islam.
Disamping sifatnya yang radikal dan revolusioner, Abu Dzar ternyata
seorang yang zuhud (meninggalkan kesenangan dunia dan mengecilkan nilai
dunia dibanding akhirat), berta’wa dan wara’ (sangat hati-hati dan
teliti). Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada di dunia ini orang
yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar”, dikali lain beliau SAW
bersabda, “Abu Dzar — diantara umatku — memiliki sifat zuhud seperti Isa
ibn Maryam”.
Pernah suatu hari Abu Dzar berkata di hadapan banyak orang, “Ada
tujuh wasiat Rasulullah SAW yang selalu kupegang teguh. Aku disuruhnya
agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri dengan mereka.
Dalam hal harta, aku disuruhnya memandang ke bawah dan tidak ke atas
(pemilik harta dan kekuasaan)). Aku disuruhnya agar tidak meminta
pertolongan dari orang lain. Aku disuruhnya mengatakan hal yang benar
seberapa besarpun resikonya. Aku disuruhnya agar tidak pernah takut
membela agama Allah. Dan aku disuruhnya agar memperbanyak menyebut ‘La
Haula Walaa Quwwata Illa Billah’. “
Dipinggangnya selalu tersandang pedang yang sangat tajam yang
digunakannya untuk menebas musuh-musuh Islam. Ketika Rasulullah bersabda
padanya, “Maukah kamu kutunjukkan yang lebih baik dari pedangmu?
(Yaitu) Bersabarlah hingga kamu bertemu denganku (di akhirat)”, maka
sejak itu ia mengganti pedangnya dengan lidahnya yang ternyata lebih
tajam dari pedangnya.
Dengan lidahnya ia berteriak di jalanan, lembah, padang pasir dan
sudut kota menyampaikan protesnya kepada para penguasa yang rajin
menumpuk harta di masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Setiap kali turun
ke jalan, keliling kota, ratusan orang mengikuti di belakangnya, dan
ikut meneriakkan kata-katanya yang menjadi panji yang sangat terkenal
dan sering diulang-ulang, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang
menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan api neraka,
kening dan pinggang mereka akan diseterika dihari kiamat!”
Teriakan-teriakannya telah menggetarkan seluruh penguasa di jazirah
Arab. Ketika para penguasa saat itu melarangnya, dengan lantang ia
berkata, “Demi Allah yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya! Sekiranya
tuan-tuan sekalian menaruh pedang diatas pundakku, sedang mulutku masih
sempat menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar darinya, pastilah
akan kusampaikan sebelum tuan-tuan menebas batang leherku”
Sepak terjangnya menyebabkan penguasa tertinggi saat itu Ustman bin
Affan turun tangan untuk menengahi. Ustman bin Affan menawarkan tempat
tinggal dan berbagai kenikmatan, tapi Abu Dzar yang zuhud berkata, “aku
tidak butuh dunia kalian!”.
Akhir hidupnya sangat mengiris hati. Istrinya bertutur, “Ketika Abu
Dzar akan meninggal, aku menangis. Abu Dzar kemudian bertanya, “Mengapa
engkau menangis wahai istriku? Aku jawab, “Bagaimana aku tidak menangis,
engkau sekarat di hamparan padang pasir sedang aku tidak mempunyai kain
yang cukup untuk mengkafanimu dan tidak ada orang yang akan membantuku
menguburkanmu”.
Namun akhirnya dengan pertolongan Allah serombongan musafir yang
dipimpin oleh Abdullah bin Ma’ud ra (salah seorang sahabat Rasulullah
SAW juga) melewatinya. Abdullah bin Mas’ud pun membantunya dan berkata,
“Benarlah ucapan Rasulullah!. Kamu berjalan sebatang kara, mati sebatang
kara, dan nantinya (di akhirat) dibangkitkan sebatang kara”.
Hidup kadang tak ubahnya seperti merawat bunga mahal. Perlu
ketelitian dan kesabaran agar bunga tetap indah. Sedikit saja sembrono,
bukan saja bunga indah menjadi layu. Tapi, penyakitnya bisa menular ke
bunga lain.
Ada yang gelisah ketika sampai tiga kali Rasulullah saw. menyebut
akan datang ahli surga. Dan tiga kali pula orang yang datang selalu dia.
Beliau adalah Saad bin Abi Waqash. Kegelisahan pun menjadikan Abdullah
bin Umar menyatakan diri ingin bertandang ke rumah Saad.
Satu hari ia bermalam di rumah Saad, tapi hasilnya biasa-biasa saja.
Tidak ada ibadah istimewa yang berbeda dengan yang biasa diamalkan para
sahabat lain. Hingga lebih dari dua malam, Ibnu Umar terus terang. “Saya
cuma ingin tahu, amal istimewa apa yang Anda lakukan hingga Rasul
menyebut Anda ahli surga,” begitulah kira-kira ucap putera Umar bin
Khathab ini.
Saad dengan tanpa sedikit pun merasa bangga mengatakan, “Tidak ada
perbuatan ibadah saya yang istimewa. Kecuali, tiap menjelang tidur, saya
selalu membersihkan hati saya dari hasad, kecewa, dan benci dengan
semua saudara mukmin selama pagi hingga malam. Itu saja!” Seperti itulah
jawaban Saad. Sederhana, tapi istimewa.
Berbeda dengan Ibnu Umar, Thalhah pun pernah gelisah. Beliau khawatir
kalau sebuah ayat yang baru saja turun berkenaan dengan dirinya. Ayat
itu berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS. 3: 92)
Soalnya, ada satu kebun kurma subur milik Thalhah yang begitu
menambat hatinya. Hampir tiap hari ia berkunjung ke situ. Shalat Zuhur
dan Ashar di situ, tilawah dan zikir pun di kebun indah itu. Ia nikmati
kicauan burung, dan pemandangan sejuk hijaunya dedaunan kurma.
Menariknya, kegelisahan itu tidak ia tanyakan ke Rasulullah. Tapi,
langsung ia infakkan buat jalan dakwah. Ia nyatakan di hadapan Rasul
kalau kebun kesayangannya itu diwakafkan buat kepentingan perjuangan
Islam. Subhanallah!
Begitulah para sahabat Rasul. Mereka begitu gelisah ketika diri belum
berhasil menangkap peluang kebaikan. Padahal, peluang itu sudah
ditawarkan melalui ayat Alquran yang baru saja turun atau ucapan Rasul.
Kegelisahan itu belum akan sembuh hingga mereka benar-benar telah
mengambil peluang itu dengan sebaik-baiknya.
Itulah sikap ihsan yang dicontohkan para sahabat dalam menata diri.
Mereka begitu menjaga mutu amal agar tetap the best. Selalu terdepan.
Tidak heran jika semangat fastabiqul khairat atau lomba berbuat baik
begitu memasyarakat di kalangan sahabat Rasul.
Mereka seperti terbingkai dalam sebuah ayat Alquran tentang generasi pewaris Nabi. Dalam surah Faathir ayat 32.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di
antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Sikap ihsan itulah yang menjadikan para sahabat Rasul selalu punya
hubungan harmonis dengan Yang Maha Penyayang, Allah swt. Hati mereka
begitu terpaut dengan mutu ibadah yang serba terbaik. Tidak heran jika
berkah kemenangan selalu memancar di tiap sepak terjang perjuangan
mereka. Siapa pun yang mereka lawan. Dan seperti apa pun kendala
perjuangan yang mereka hadapi.
Begitu pun dalam hubungan muamalah sesama manusia. Mereka tidak
sedang menyulam benang vertikal sementara tali horisontal terburai.
Hubungan kepada Allah selalu the best, dan kepada manusia sangat
terawat. Tidak ada hubungan dagang, perjanjian, hidup bertetangga yang
cacat.
Mereka begitu sempurna karena setidaknya ada tiga hal. Pertama,
pemahaman dan ketaatan yang begitu utuh terhadap aturan Islam. Mungkin
ini wajar karena Islam yang mereka peroleh langsung dari sumbernya yang
pertama, Rasulullah saw.
Kedua, kehausan mereka dengan ilmu selalu berdampak pada perubahan
dalam diri dan amal di hadapan manusia. Ini mungkin yang mahal. Mereka
belajar Islam bukan buat sekadar ilmu pengetahuan. Apalagi, cuma kliping
materi. Tapi, benar-benar sebagai penuntun langkah yang segera mereka
ayunkan.
Dan ketiga, adanya keteladanan dari pihak yang sangat mereka hormati.
Inilah yang mungkin langka. Tapi, ini pula yang akhirnya menentukan.
Membumi tidaknya sebuah nilai di tengah masyarakat sangat bergantung
dari sepak terjang pelopornya. Cocokkah antara ucapan dan perbuatan.
Jika klop, nilai akan berkembang pesat. Tapi jika sebaliknya, sebuah
nilai hanya sekadar kumpulan pengetahuan yang cuma bagus dalam lemari
pajangan.
Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
‘Aku dan orang yang mengikutiku’. Itulah simbol keteladanan yang berbuah ketaatan dan semangat kerja yang selalu membara.
Dalam hal apa pun, Allah swt. meminta hamba-hambaNya untuk selalu ihsan. Termasuk dengan hewan. “Sesungguhnya
Allah swt. mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu. Apabila kamu
membunuh, hendaknya membunuh dengan cara yang baik. Dan jika
menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik: menajamkan pisau
dan menyenangkan hewan sembelihan itu.” (HR. Muslim)
Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para
sahabat. Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba
Rasulullah berhenti sejenak dan berkata,”Akan hadir diantara kalian
seorang calon penghuni surga”. Para sahabat pun bertanya-tanya dalam
hati, siapakah orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan
antusias mereka menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang
ke arah pintu.
Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid.
Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih
dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di
antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy.
Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar
keistimewaan dia.
Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari
selanjutnya. Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian
seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian
muncul.
Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang i-laki itulah yang
dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan
istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah
menjulukinya sebagai calon penghuni surga?
Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara
mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari,
sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah
laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.
Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus
mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki
makan, si sahabat ikut makan. Saat si laki-laki mengerjakan pekerjaan
rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa
saja. “Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus,” pikirnya. Tapi
ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan
ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur’an dan mengerjakan
ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun
tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.
Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang
istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon
penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.
Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya
bermalam. Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia
bertanya, “Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau
lakukan sehingga kau disebut salah satu calon penghuni surga oleh
Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu”.
Si laki-laki menjawab, “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam
kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan
biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu.
Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan
orang-orang yang menyakitiku dan kubuang semua iri, dengki, dendam dan
perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur
dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang
menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian.”
Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi berseri-seri.
“Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu
para sahabat mengenai hal ini”. Sang sahabat pun pamit dengan membawa
pelajaran berharga.
“Dimanakan istana raja negeri ini?” tanya seorang Yahudi dari Mesir yang baru saja tiba di pusat pemerintahan Islam, Madinah.
“Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di
depan masjid, dekat batang kurma itu,” jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi Mesir itu terbayang keindahan istana khalifah.
Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya
pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang
rindang tempat berteduh khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada
dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang
ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang
mirip istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuman sebatang. Di bawah
pohon kurma, tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah
kusam. Lelaki berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin
juga sedang berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati
lelaki yang bersender di bawah batang kurma, “Maaf, saya ingin bertemu
dengan Umar bin Khattab,” tanyanya.
Lelaki yang ditanya bangkit, “Akulah Umar bin Khattab.”
Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini,” katanya menegaskan.
“Ya, akulah khalifah pemimpin negeri ini,” kata Umar bin Khattab tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan buatan. Jelas semua itu jauh
dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib
Yahudi yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih
jauh lagi kalau dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak
hidup dengan istana serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang pemimpin
yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar
selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
“Di manakah istana tuan?” tanya si Yahudi di antara rasa penasarannya.
Khalifah Umar bin Khattab menuding, “Kalau yang kau maksud kediamanku
maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang
terakhir.”
“Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?”
“Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah.”
Yahudi itu tertunduk. Hatinya yang semula panas oleh kemarahan karena
ditimbuni berbagai rasa tidak puas hingga kemarahannya memuncak, cair
sudah. “Tuan, saksikanlah, sejak hari ini saya yakini kebenaran agama
Tuan. Ijinkan saya menjadi pemeluk Islam sampai mati.”
Mata si Yahudi itu terasa hangat lalu membentuk kolam. Akhirnya satu-persatu tetes air matanya jatuh.
Ini adalah sekelumit “kisah masa depan”, ketika seluruh manusia
berkumpul di hari kiamat. Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah kepada
para sahabatnya. Dalam kisah itu diceritakan bahwa Allah mengumpulkan
seluruh manusia dari yang pertama hingga yang terakhir dalam satu
daratan. Pada hari itu matahari mendekat kepada mereka, dan manusia
ditimpa kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak kuasa menahannya.
Lalu di antara mereka ada yang berkata, “Tidakkah kalian lihat apa
yang telah menimpa kita, tidakkah kalian mencari orang yang bisa
memberikan syafa’at kepada Rabb kalian?”
Yang lainnya lalu menimpali, “Bapak kalian adalah Adam AS.”
Akhirnya mereka mendatangi Adam lalu berkata, “Wahai Adam, Anda bapak
manusia, Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya, dan meniupkan ruh
kepadamu, dan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu, dan
menempatkanmu di surga. Tidakkah engkau syafa’ti kami kepada Rabb-mu?
Apakah tidak kau saksikan apa yang menimpa kami?”
Maka Adam berkata, “Sesungguhnya Rabbku pada hari ini sedang marah
yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan marah
seperti ini sesudahnya, dan sesungguhnya Dia telah melarangku untuk
mendekati pohon (khuldi) tapi aku langgar. Nafsi nafsi (aku mengurusi
diriku sendiri), pergilah kalian kepada selainku, pergilah kepada Nuh
AS.”
Lalu mereka segera pergi menemui Nuh AS dan berkata, “Wahai Nuh,
engkau adalah Rasul pertama yang diutus ke bumi, dan Allah telah
memberikan nama kepadamu seorang hamba yang bersyukur (abdan syakuro),
tidakkah engkau saksikan apa yang menimpa kami, tidakkah engkau lihat
apa yang terjadi pada kami? Tidakkah engkau beri kami syafa’at menghadap
Rabb-mu?”
Maka Nuh berkata, “Sesungguhnya Rabbku pada hari ini marah dengan
kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan
marah seperti ini sesudahnya. Sesungguhnya aku punya doa, yang telah
aku gunakan untuk mendoakan (celaka) atas kaumku. Nafsi nafsi, pergilah
kepada selainku, pergilah kepada Ibrahim AS!”
Lalu mereka segera menemui Ibrahim dan berkata, “Wahai Ibrahim,
engkau adalah Nabi dan kekasih Allah dari penduduk bumi, syafa’atilah
kami kepada Rabb-mu! Tidakkah kau lihat apa yang menimpa kami?”
Maka Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini marah
dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan
tidak akan marah seperti ini sesudahnya, dan sesungguhnya aku telah
berbohong tiga kali. Nafsi nafsi, pergilah kalian kepada selainku,
pergilah kalian kepada Musa AS!”
Lalu mereka segera pergi ke Musa, dan berkata, “Wahai Musa, engkau
adalah utusan Allah. Allah telah memberikan kelebihan kepadamu dengan
risalah dan kalam-Nya atas sekalian manusia. Syafa’atilah kami kepada
Rabb-mu! Tidakkah kau lihat apa yang kami alami?”
Lalu Musa berkata, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini sedang marah
dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan
tidak akan pernah marah seperti ini sesudahnya. Dan sesungguhnya aku
telah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya.
Nafsi nafsi, pergilah kalian kepada selainku, pergilah kalian kepada
Isa AS!”
Lalu mereka pergi menemui Isa, dan berkata, “Wahai Isa, engkau adalah
utusan Allah dan kalimat-Nya yang dilontarkan kepada Maryam, serta ruh
dari-Nya. Dan engkau telah berbicara kepada manusia semasa dalam
gendongan. Berilah syafa’at kepada kami kepada Rabb-mu! Tidakkah kau
lihat apa yang kami alami?”
Maka Isa berkata, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini sedang marah
dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan
tidak akan marah seperti ini sesudahnya. Nafsi nafsi, pergilah kepada
selainku, pergilah kepada Muhammad SAW!”
Akhirnya mereka mendatangi Muhammad SAW, dan berkata, “Wahai
Muhammad, engkau adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah telah
mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang. Syafa’atilah kami
kepada Rabb-mu, tidakkah kau lihat apa yang kami alami?”
Lalu Nabi Muhammad SAW pergi menuju bawah ‘Arsy. Di sana beliau
bersujud kepada Rabb, kemudian Allah membukakan kepadanya dari
puji-pujian-Nya, dan indahnya pujian atas-Nya, sesuatu yang tidak pernah
dibukakan kepada seorangpun sebelum Nabi Muhammad. Kemudian Allah SWT
berkata kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, angkat kepalamu, mintalah,
niscaya kau diberi, dan berilah syafa’at niscaya akan dikabulkan!”
Maka Muhammad SAW mengangkat kepalanya dan berkata, “Ummatku wahai Rabb-ku, ummatku wahai Rabb-ku, ummatku wahai Rabb-ku!”
Lalu disampaikan dari Allah kepadanya, “Wahai Muhammad, masukkan ke
surga di antara umatmu yang tanpa hisab dari pintu sebelah kanan dari
sekian pintu surga, dan mereka adalah ikut memiliki hak bersama dengan
manusia yang lain pada selain pintu tersebut dari pintu-pintu surga.”
***
Di dalam kisah ini, Rasulullah SAW juga menceritakan bahwa lebar
jarak antara kedua sisi pintu surga itu, bagaikan jarak Makkah dan
Hajar, atau seperti jarah Makkah dan Bushro. Hajar adalah nama kota
besar pusat pemerintahan Bahrain. Sedangkan Bushro adalah kota di Syam.
Bisa kita bayangkan, betapa tebalnya pintu-pintu surga itu..
Itulah sekelumit kisah nyata di masa depan ketika hari kiamat. Pada
hari itu, Rasulullah SAW memberi syafa’at kepada ummatnya. Pada hari itu
Rasulullah SAW menjadi sayyid (tuan)nya manusia. Shalawat dan salam
kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam islam, Jumlah bukanlah penentu segala galanya. Betapa banyak,
golongan yang lebih kecil mengalahkan golongan yang lebih besar.
Peristiwa peristiwa sejarah dan kegemilangan islam masa
lampau,menunjukkan betapa umat islam yang berjumlah kecil, bisa
mengalahkan pasukan musuh yang berjumlah lebih besar bahkan jauh
berlipat lipat. Siapa yang menyangsikan kekuatan iman para sahabat ?
Siapa yang menyangsikan kelurusan tauhid dan ketinggian para sahabat
yang mulia ? Rupanya disinialah kuncinya pertolongan ALLAH. Ketika
keimanan sangat tinggi, keyakinan akan pertolongan Allah begitu besar
dan tidak bergantung kepada selain Allah, kekuatan pasukan muslim
menjadi berlipat ganda. Allah menurunkan pasukannya dan menggentarkan
hati hati musuh musuh islam sehingga dapat kita lihat bagaimana di Badar
kaum kafir Qura’is terkalahkan.
Dalam sejarah sejarah islam terdahulu, sungguh kita dapati bagaimana
generasi terbaik umat ini berjuang untuk menegakkan agama islam.
Sebagian besar peperangan yang dilaluinya jumlah pasukan kaum muslimin
lebih kecil dari pada musuh nya. Rupanya para sahabat memang tidak
menganggap bahwa jumlahlah penentu kemenangan. Bahkan dalam perang
hunain, ketika seorang prajuruit merasa akan menang karena jumlah mereka
yang besar, ternyata pasukan islam malah kocar kacir. Terbukti bahwa
jumlah memang bukan penentu.
Bulan jumadil’ awal 8 H, rosulullah memberangkatkan 3000 orang
pasukan ke Syiria. Zaid bin haritsah ditunjuk sebagai panglima perang,
dengan instruksi jika Zaid gugur, penggantinya adalah Ja’far bin Abu
Thalib. Jika Ja’far gugur penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.
Sampai di daearah Ma’an kaum muslim mengetahui bahwa kekuatan musuh
mencapai 200 ribu terdiri dari 100 ribu tentara Romawi dan 100 ribu
orang Nasrani keturunan Arab dari berbagai kabilah. Subhanallah,
bagaimana 3000 orang akan melawan 200.000 pasukan? Logika saja
mengatakan 1 orang harus menghadapi 1 : 60 – 70 Pasukan musuh.
Selama 2 hari kamu muslim bermusyawarah tentang kondisi yang mereka
hadapi. Ada yang mengusulkan agar mereka mengirimkan surat kepada
Rosulullah, mereka berharap rosulullah mengirimkan pasukan tambahan.
Namun Abdullah bin Rawahah tidak setuju dan berseru dengan semangat
menyala “ Wahai manusia, apa yang tidak kalian sukai dalam pertempuran
ini, justru yang selama ini kalian cari yaitu Syahid. Kita berperang
bukan mengandalkan jumlah pasukan, kekuatan dan banyaknya perlengkapan
dan perbekalan. Kita perangi mereka demi agama ini yang karena Allah
memuliakan kita. Karena itu majulah terus dan raih satu dari dua
kebaikan : Menang atau Mati Syahid.” (Ibnu Hisyam III/ 430).
Menggeloralah semangat kaum muslimin akan hal ini. Zaid Bin Haritzah
membawa pasukannya kedaerah yang terkenal dalam sejarah : Mu’tah.
Disinilah pertempuran 3000 pejuang islam melawan 200 ribu pasukan musuh
terjadi. Suasana pertempuran begitu sengit, dan syahidlah Panglima
perang Zaid Bin Haritzah terkena panah pasukan romawi.
Bendera islam dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib. Pahlawan islam
yang baru kembali dari Habasyah ini berperang dengan gagah berani,
sampai tangan kanannya berhasil ditebas musuh. Ketika tangan kanan nya
telah terputus, dipeganglah bendera dengan tangan kiri. Begitu tangan
kirinya putus, ditebas pedang musuh, dikempitlah bendera tersebut dengan
sisa lengannya. Akhirnya pahlawan ini menemui robnya sebagai Syahid
dengan tubuh terbelah dua dan lebih dari 70 luka di tubuhnya.
Bendera dipunguit oleh Tsabit Bin Arqam dan diserahkan kepada Khalid
Bin Walid, yang kala itu belum genap 3 bulan memeluk islam.Khalid pun
menolak dan berkata “ Anda lebih patut memegangnya. Anda lebih tua dan
telah ikut perang Badar” Jawab Khalid Bin Walid. “ Ambillah, hai laki
laki. Demki Allah, aku mengambil bendera ini hanya karena akan kuberikan
kepadamu. Jawab Tsabit.” Akhirnya Pasukan islam yang sedang terdesak
ini dipimpin oleh Khalid Bin Walid. Rupanya khalid Bin Walid memang
sangat ahli dalam strategi perang dan seorang panglima perang yang
sangat brilian baik sebelum apalagi setelah menjadi seorang mukmin.
Diaturlah strategi baru, pasukan yang semula berada di depan dialihkan
kebelakang juga sebailiknya. Demikian juga pasukan Sayap kanan dialihkan
ke kiri dan sebaliknya. Strategi luar biasa ini membuat musuh terkecoh,
mengira pasukan islam mendapat tambahan pasukan. Perlahan lahan,
pasukan islam yang awalnya dalam kondisi terancam bisa diselamatkan.
Diakhir peperangan pasukan islam yang gugur hanya 13 orang. Buku buku
sejarah , Tidak memberikan angka pasti berapa besar jumlah korban dari
pasukan romawi.
Betapa yang kecil tidak selalu terkalahkan dengan yang besar. Dalam
perang Mu’tah ini, banyak sekali ibroh yang bisa diambil, bahwa kekuatan
iman memegang peranan yang begitu besar. Jika kondisi islam saat ini
yang jumlahnya begitu besar saja justru terpuruk,sudah seharusnya kita
merenungkan dan mengambil sebuah pelajaran, mungkinkah kebesaran islam
akan kembali dengan meminta bantuan dari musuh musuh islam yang seolah
olah sangat baik membantu kita ? Mungkinkah kejayaan islam akan kembali
tanpa kita memiliki rasa bangga terhadap islam dan lebih mencintai
system islam daripada system buatan manusia ? Kita lihat, Sejak 1948,
Tel Aviv menjadi ibukota Israel, dengan tangisan ratusan juta umat islam
dan senyum kemenangan Israel dan presiden AS Hennry Truman saat itu,
Tahun 67 Dataran tinggi Golan, Sinai , diambil Israel,tahun 81
pembantaian besar besaran di Kamp pengungsi Sabra & Shatilla dan
beribu permasalahan yang tiada habisnya karena pendudukan Yahudi, Namun
kini sebentar lagi Presiden Palestina Dan Israel akan berunding , duduk
manis dengan Wasit Amerika. Mungkinkah dalam pertandingan sepakbola,
seorang wasit adalah keluarga dari pemain musuh ?
Kini jumlah kita sangat besar saudaraku. Namun dari jumlah yang besar
ini, besar pula pengekor, yang sangat bangga dengan mengikuti budaya
Barat. Dari jumlah yang besar ini, entah berapa banyak yang bangga
dengan agamanya, entah berapa banyak yang ridho dengan syari’at islam,
entah berapa yang banyak yang merindukan Syari’at islam tegak di bumi
ini. Jumlah yang besar sesungguhnya merupakan potensi, tinggal bagaimana
umat ini bersatu dalam dakwah dengan pemahaman yang benar. Manjadikan
Al Qur’an dan sunnah sebagai pedoman. Dengan inilah Allah memberikan
kabar gembira Nasrumminallah wa fatkhunqorib.
Apalagi sauadaraku, dimanapun posisi kita marilah kita menjadi bagian
dalam dakwah untuk meninggikan kalimat Allah..Dikantor, dirumah, lewat
tulisan, lewat perbuatan bahkan jika mampu dengan lisan atau tangan kita
Tidak salah jika seorang penyair mengatakan, umat islam memang sudah
seharusnya ada yang terbang tinggi seperti burung, namun perlu juga ada
yang merayap seperti cacing.
Pada suatu hari, Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam masuk ke
kebun seorang shohabat Anshor. Di dalam kebun itu ada seekor onta.
Ketika melihat Rasululloh Shollallahu ‘alahi wa Sallam, onta itu
merintih dan mencucurkan air mata. Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa
Sallam mendatangi onta itu. Beliau mengusap punggung dan kedua telinga
onta yang menangis itu. Maka onta itupun diam. Rasululloh Shollallahu
‘alaihi wa Sallam bertanya: “Siapakah pemilik onta ini? Milik siapa onta
ini?”
Maka datanglah seorang pemuda Anshor seraya berkata, “Onta ini
milikku wahai Rasululloh!” Beliau bersabda, yang artinya: “Apakah kamu
tidak takut kepada Alloh, atas hewan yang Alloh kuasakan padamu?
Sesungguhnya onta ini mengadu kepadaku, bahwa engkau telah membuatnya
lapar dan kelelahan.”
Demikianlah nasehat Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam agar
kita bersikap kasih dan sayang terhadap hewan peliharaan. Jangan terlalu
membebaninya sehingga kelelahan apalagi sampai kelaparan.
Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai.
Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai
Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik.
Saya melakukan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk
itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa; saya hanya ingin
tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan
kepada-Nya!”
“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa
dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan
pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah shalat,
puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang
dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia
kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang
saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu
berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa
berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.”
Mendengar itu si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran
mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.
“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan
persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku
pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun
yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus.
Akhirnya nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat.
Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.
Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan demikian: “Orang
yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh
anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh.
Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang
Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan Aku
senang kepadanya.”
Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha
dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu
berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami
kesulitan, kita berusaha keras untuk mengatasinya—lahir dan batin, lalu
kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa
berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berkewajiban untuk
melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah
kepada-Nya sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa
tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?”
“Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak,”
firman Tuhan (Al-Qur’an 74: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu
kerjakan. Setiap kali kamu berkata seperti itu, ingatlah, belum banyak
yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat
orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh
geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak
menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan
amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih
berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia
berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia
mengejar ridha dirinya.
Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang
sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran.
Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada.
Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut
mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang
pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan
kawan-kawannya.
Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini
setelah shalat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku.
Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu,
ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk
meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena
kasih-sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang
Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”
Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan
kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa
Nabi Muhammad SAW, ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki
berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku,
ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang
Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada
tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang
memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan
kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan
Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih
luas. Aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan.
Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku.
Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali
melalui-Mu.”
***
Ibrahim bin Adham bercerita bahwa ia pernah didatangi seorang
laki-laki yang berkata kepadanya: “Wahai Abu Ishak (Ibrahim bin Adham)!
Saya seorang yang banyak berdosa, seorang yang dzalim. Sudikah kiranya
Tuan mengajari saya hidup zuhud, agar Alloh menerangi jalan hidup saya
dan melembutkan hati saya yang kesat ini.”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Kalau kau dapat memegang teguh enam perkara berikut ini, niscaya engkau akan selamat.”
“Apa itu?” Tanyanya.
“Pertama, bila engkau bermaksiat, janganlah engkau memakan rizki Alloh.”
“Jika di seluruh penjuru bumi ini, baik di barat maupun di timur,
didarat maupun di laut, di kebun dan di gunung-gunung, ada rizki Alloh,
maka dari mana aku makan?”
“Wahai Saudaraku, pantaskah engkau memakan rizki Alloh, sementara engkau melanggar peraturan-Nya?”
“ Tidak, demi Alloh! Lalu, apa yang kedua?”
“Kedua, bila engkau bermaksiat kepada Alloh, janganlah engkau tinggal di negeri-Nya!”
Lelaki itu menukas, “Tuan Ibrahim, demi Alloh yang kedua ini lebih
berat.bukankah bumi ini milik-Nya? Kalau demikian halnya, dimana aku
harus tinggal?”
“Patutkah engkau makan rizki Alloh dan tinggal di bumi-Nya padahal engkau melakukan maksiat kepada-Nya?”
“Tidak, Tuan Guru!”
“Ketiga, jika engkau hendak berbuat maksiat, janganlah engkau lupakan
Alloh yang Maha Melihat dan beranggapanlah bahwa Dia lalai kepadamu!”
“Tuan Guru, bagaimana mungkin bisa begitu, padahal Alloh Maha Mengetahui segala rahasia dan melihat setiap hati nurani.”
“Layakkah engkau menikmati rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya dan maksiat kepada-Nya sedangkan Alloh melihat dan mengawasimu?”
“Tentu saja tidak, wahai Tuan Guru.Lantas apa yang keempat?”
“Apabila datang kepadamu malaikat maut, hendak mencabut nyawamu, maka
katakan kepada malaikat itu, tunggulah dulu, aku akan bertobat.”
Lelaki itu menjawab, “Tuan Guru, itu tidak mungkin dan ia tak mungkin mengabulkan permintaanku.”
Ibrahim bertutur, “Kalau engkau sadar bahwa engkau tak mungkin mampu
menolak keinginannya, maka tentu ia akan datang kepadamu kapan saja,
mungkin sebelum engkau bertobat.”
“Benar ucapan Guru! Sekarang apa yang kelima?”
“Kelima, bilamana datang mungkar dan Nakir kepadamu, lawanlah kedua malaikat itu d engan seluruh kekuatanmu, bila kau mampu.”
“Itu tidak mungkin, mustahil Tuan Guru.”
Ibrahim bin Adham kemudian melanjutkan, ” Keenam, bila esok engkau
berada di sisi Alloh SWT, dan Alloh menyuruhmu masuk neraka, katakanlah:
Ya Alloh, aku tidak bersedia.”
“Wahai Tuan Guru, cukuplah. Cukuplah nasihatmu!” Jawab lelaki itu, dan iapun pergi.
Seorang wanita berhati mulia, pemimping para ibu. Seorang ibu yang
telah menganugerahkan anak tunggal yang mulia pembawa hidayah. Dialah
Aminah biti Wahab. Ibu dari Muhammad bin Abdullah yang diutus Allah
sebagai rahmat seluruh alam. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebangggaan
yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Allah azza wa jalla memilihnya
sebagai ibu seorang rasul mulia dan nabi yang terakhir.
Berkatalah Muhammad puteranya tentang nasabnya. ” Allah telah memilih
aku dari Kinanah, dan memilih Kinanah dari suku Quraisy bangsa Arab.
Aku berasal dari keturunan orang-orang yang baik, dari orang-orang yang
baik, dari orang-orang yang baik.” Dengarlah sabdanya lagi, “Allah
memindahkan aku dari sulbi-sulbi yang baik ke rahim-rahim yang suci
secara terpilih dan terdidik. Tiadalah bercabang dua, melainkan aku di
bagian yang terbaik.”
Aminah bukan cuma ibu seorang rasul atau nabi, tetapi juga wanita
pengukir sejarah. Kerana risalah yang dibawa putera tunggalnya sempurna,
benar dan kekal sepanjang zaman. Suatu risalah yang bermaslahat bagi
ummat manusia. Berkatalah Ibnu Ishaq tentang Aminah bt Wahab ini. “Pada
waktu itu ia merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di
kalangan suku Quraisy.”
Menurut penilaian Dari. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad
yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal
keturunannya pun paling baik. Ia memiliki kebaikan nasab dan ketinggian
asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi yang sangat
membanggakan kemuliaan nenek moyang dan keturunannya.”
Aminah merupakan bunga yang indah di kalangan Quraisy serta menjadi
puteri dari pemimpin bani Zuhrah. Pergaulannya senantiasa dalam
penjagaan dan tertutup dari pandangan mata. Terlindung dari pergaulan
bebas sehingga sukar untuk dapat mengetahui jelas penampilannya atau
gambaran fisiknya. Para sejarawan hampir tidak mengetahui kehidupannya
kecuali sebagai gadis Quraisy yang paling mulia nasab dan kedudukannnya
di kalangan Quraisy.
Meski tersembunyi, baunya yang harum semerbak keluar dari rumah bani
Zuhrah dan menyebar ke segala penjuru Makkah. Bau harumnya membangkitkan
harapan mulia dalam jiwa para pemudanya yang menjauhi wanita-wanita
lain yang terpandang dan dibicarakan orang.
Allah memilih Aminah “Si Bunga Quraisy” sebagai isteri Abdullah bin
Abdul Muthalib di antara gadis lain yang cantik dan suci. Banyak gadis
yang meminang Abdullah sebagai suaminya seperti Ruqaiyah bt Naufal,
Fatimah bt Murr, Laila al Adawiyah, dan masih banyak wanita lain yang
telah meminang Abdullah.
Ibnu Ishaq menuturkan tentang Abdul Muthalib yang membimbing tangan
Abdullah anaknya setelah menebusnya dari penyembelihan. Lalu membawanya
kpd Wahab bin Abdu Manah bin Zuhrah – yang waktu itu sebagai pemimpin
bani Zuhrah – utk dikawinkan dgn Aminah.
Abdullah adalah pemuda paling tampan di Makkah. Paling memukau dan
paling terkenal di Makkah. Tak heran, jika ketika ia meminang Aminah,
banyak wanita Makkah yang patah hati.
Cahaya yang semula memancar di dahi Abdullah kini berpindah ke
Aminah, padahal cahaya itulah yang membuat wanita-wanita Quraisy rela
menawarkan diri sebagai calon isteri Abdullah. Setelah berhasil
mengawini Aminah, Abdullah pernah bertanya kpd Ruqaiyah mengapa tidak
menawarkan diri lagi sebagai isterinya.Jawab Ruqaiyah, ” Cahaya yang ada
padamu dulu telah meninggalkanmu, dan kini aku tidak memerlukanmu
lagi.”
Fatimah bi Murr yang ditanyai juga berkata, ” Hai Abdullah, aku bukan
seorang wanita jahat, tetapi kulihat aku melihat cahaya di wajahmu, krn
itu aku ingin memilikimu. Namun Allah tak mengizinkan kecuali
memberikannnya kpd orang yang dikehendakiNya.” Jawaban serupa juga
disampaikan oleh Laila al Adawiyah. “Dulu aku melihat cahaya bersinar di
antara kedua matamu krn itu aku mengharapkanmu. Namun engkau menolak.
Kini engkau telah mengawini Aminah, dan chaya itu telah lenyap darimu.”
Memang “cahaya” itu telah berpindah dari Abdullah kpd Aminah. Cahaya ini
setelah berpindah-pindah dari sulbi-sulbi dan rahim-rahim lalu menetap
pd Aminah yang melahirkan Nabi Muhammad SAW. Bagi Muhammad merupakan
hasil dari doa Ibrahim bapanya. Kelahirannya sebagai khabar gembira dari
Isa saudaranya, dan merupakan hasil mimpi dari Aminah ibunya. Aminah
pernah bermimpi seakan-akan sebuah cahaya keluar darinya menyinari
istana-istana Syam. Dari suara ghaib itu mendengar, “Engkau sedang
mengandung pemimpin ummat.”
Allah telah mengabulkan doa Ibrahim as seperti disebutkan dalam surah
al Baqarah ayat 129 “Ya Tuhan kami. Utuslah bagi mereka seorang rasul
dari kalangan mereka.” Dan terwujudlah kabar gembira dari Isa as.
seperti tersebut dalam surah as Shaff ayat 6 “Dan memberi khabar gembira
dgn (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad
(Muhammad).” Benar pulalah tentang ramalan mimpi Aminah tentang cahaya
yang keluar dari dirinya yang menerangi istana-istana Syam itu.
Umar bin Khatab terkenal sebagai khalifah yang suka berjalan di
tengah malam untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Di suatu malam, Umar
mendengar suara seorang laki-laki dalam sebuah rumah yang sedang tertawa
asyik ditingkahi gelegak tawa wanita.
Umar mengintip, lalu memanjat jendela dan masuk ke rumah tersebut
seraya menghardik, “hai hamba Allah! apakah kamu mengira Allah akan
menutup aibmu padahal kamu berbuat maksiat!!!”
Orang tua itu menjawab dengan tenang, “Jangan terburu-buru ya Umar,
saya boleh jadi melakukan satu kesalahan tapi anda telah melakukan tiga
kesalahan. Pertama, Allah berfirman, Wa la tajassasu…”jangan kamu (mengintip) mencari-cari kesalahan orang lain” (al-Hujurat: 12).
Wa qad tajassasta (dan Anda telah melakukan tajasus).
Kedua, “Masuklah ke rumah-rumah dari pintunya” (Al-Baqarah 189) dan Anda sudah menyelinap masuk.
Ketiga, anda sudah masuk rumah tanpa izin, sedangkan Allah telah berfirman, “Janganlah kamu masuk ke rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin…” (An-Nur 27)
Umar berkata, “apakah lebih baik disisimu kalau aku memaafkanmu?”
Lelaki tersebut menjawab, “ya”. Lalu Umar pun memaafkannya dan pergi
dari rumah tersebut.
Sekarang tengoklah tingkah laku kita. Bukankah Kita lebih suka
mencari kesalahan saudara kita. Bila kita tak jumpai rekan kita di
pengajian, kita tuduh dia sebagai orang yang melalaikan diri dari
mengingat Allah. Ketika kali kedua, kita tak menemui saudara kita saat
sholat jum’at, kita cap dia sebagai orang yang lebih mementingkan urusan
dunia daripada urusan akherat. Ketika kali ketiga kita lihat dia duduk
bersenda gurau dengan lawan jenisnya, mulai kita berpikir bahwa saudara
kita tersebut telah terkunci mata hatinya.
Dengan tuduhan dan prasangka seperti itu, boleh jadi kita telah
melakukan beberapa kali kesalahan yang lebih banyak dibanding saudara
kita tersebut. Mari kita tanamkan sifat Khusnudhon (berprasangka baik)
kepada orang lain.
Hari itu para pembesar Quraisy mengadakan sidang umum. Mereka
memperbincangkan berkembangnya gerakan baru yang diasaskan Muhammad. Ada
dua pilihan. To shoot it out atau to talk it out. Membasmi gerakan itu
sampai habis atau mengajaknya bicara sampai tuntas. Pilihan kedua yang
diambil.
Untuk itu serombongan Quraisy menemui Nabi saw. Beliau sedang berada
di masjid. Utbah bin Rabi’ah anggota Dar al-Nadwah (parlemen) yang
paling pandai berbicara, berkata : “Wahai kemenakanku! Aku memandangmu
sebagai orang yang terpandang dan termulia diantara kami. Tiba-tiba
engkau datang kepada kami membawa paham baru yang tidak pernah dibawa
oleh siapapun sebelum engkau. Kauresahkan masyarakat, kautimbulkan
perpecahan, kaucela agama kami. Kami khawatir suatu kali terjadilah
peperangan diantara kita hingga kita semua binasa.
Apa sebetulnya yang kaukehendaki. Jika kauinginkan harta, akan kami
kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika
kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau
menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu
tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu,
yang tidak dapat kauatasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami
sehingga kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin
kauinginkan kekuasaan, kami jadikan kamu penguasa kami semua.”
Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong
pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah
ya Abal Walid?” Sudah, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan
membaca surat Fushilat: “Ha mim. Diturunkan al-Qur’an dari Dia yang
Mahakasih Mahasayang. Sebuah kitab, yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur’an
dalam bahasa Arab untuk kaum yang berilmu…..” Nabi saw terus membaca.
ketika sampai ayat sajdah, ia bersujud.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan sampai Nabi menyelesaikan
bacaannya. kemudian, ia berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Kaumnya berkata, “lihat, Utbah datang membawa wajah yang
lain.”
Utbah duduk di tengah-tengah mereka. perlahan-lahan ia berbicara,
“Wahai kaum Quraisy, aku sudah berbicara seperti yang kalian
perintahkan. Setelah aku berbicara, ia menjawabku dengan suatu
pembicaraan. Demi Allah, kedua telingaku belum pernah mendengar ucapan
seperti itu. Aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Wahai kaum Quraisy!
Patuhi aku hari ini. Kelak boleh kalian membantahku. Biarkan laki-laki
itu bicara. Tinggalkan dia. Demi Allah, ia tidak akan berhenti dari
gerakannya. Jika ia menang, kemuliannya adalah kemulianmu juga.”
Orang-orang Quraisy berteriak, “Celaka kamu, hai Abul Walid. Kamu
sudah mengikuti Muhammad”. Orang Quraisy ternyata tidak mengikuti
nasihat Utbah (Hayat al-Shahabah 1:37-40; Tafsir al-durr al-Mansur
7:309, Tafsir Ibn Katsir 4:90, Tafsir Mizan 17:371) Mereka memilih
logika kekuatan, dan bukan kekuatan logika.
Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Kita tidak heran
bagaimana Nabi saw. dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah,
tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak Nabi dalam menghormati pendapat
orang lain. Yang menakjubkan kita adalah perilaku kita sekarang. Bahkan
oleh Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi saw. dan
menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir. Kita bahkan tidak mau
mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Seperti
pembesar-pembesar Quraisy, kita lebih sering memilih shoot it out!
Akankah kita meniru akhlak Rasulullah ? …………. Insya Allah
Abu Bakar mempunyai seorang hamba yang menyerahkan sebagian dari
pendapatan hariannya. Pada suatu hari hambanya itu telah membawa makanan
lalu dimakan sedikit oleh Abu Bakar. Hamba itu berkata:
“Kamu selalu bertanya tentang sumber makanan yang aku bawa tetapi hari ini kamu tidak berbuat demikian”.
“Aku terlalu lapar sehingga aku lupa bertanya. Terangkan kepada ku dimana kamu mendapat makanan ini”.
Hamba: “Sebelum aku memeluk Islam aku menjadi tukang ramal.
Orang-orang yang aku ramal nasibnya kadang-kadang tidak dapat bayar uang
kepadaku. Mereka berjanji akan membayarnya apabila sudah memperoleh
uang. Aku telah berjumpa dengan mereka hari ini. Merekalah yang
memberikan aku makanan ini.”
Mendengar kata-kata hambanya Abu Bakar memekik : “Ah! Hampir saja kau bunuh aku”.
Kemudian dia coba mengeluarkan makanan yang telah ditelannya. Ada
orang yang menyarankan supaya dia mengisi perutnya dengan air dan
kemudian memuntahkan makanan yang ditelannya tadi. Saran ini diterima
dan dilaksanakannya sehingga makanan itu dimuntah keluar.
Kata orang yang mengamati : “Semoga Allah memberikan rahmat atas mu. Kamu telah bersusah payah karena makanan yang sedikit”.
Kepada orang itu Abu Bakar menjawab: Aku sudah pasti memaksanya
keluar walaupun dengan berbuat demikian aku mungkin kehilangan nyawaku
sendiri. Aku mendengar Nabi berkata : “Badan yang tumbuh subur dengan
makanan haram akan merasakan api neraka”. Oleh karena itulah maka aku
memaksa makanan itu keluar takut kalau-kalau ia menyuburkan badanku.
Abu Bakar sangat teliti tentang haram halalnya makanan yang dimakannya.
Jangan mendapatkan harta melalui jalan yang haram, Jangan gunakan harta yang haram bagi diri sendiri apalagi untuk orang lain.
Kelak diyaumil akhir akan ditanya “Dari mana kamu peroleh hartamu & kemana kau belanjakan “
Seorang Nasrani bermaksud mengejek-ejek Imam Muhammad bin Ali bin
Husain yang digelari orang dengan panggilan “Al-Baqir” (yang luas
pentahuannya). Orang Nasrani itu berkata kepadanya: “Engkau adalah baqar
(lembu).” Maka Imam Baqir menjawab dengan penuh kelembutan: “Bukan,
tetapi saya adalah Al-Baqir.”
Orang Nasrani tersebut tidak menghiraukan jawaban itu. Selanjutnya ia
berkata: “Engkau adalah anak seorang tukang masak. Engkau adalah anak
seorang wanita hitam yang mulutnya berbau busuk.” Al-Baqir menjawab:
“Seandainya engkau benar, maka aku doakan semoga wanita itu diampuni
oleh Allah, dan jika engkau bohong, maka aku doakan semoga Allah
mengampunimu.”
Ternyata sikap lemah-lembut dan pemaaf yang dimiliki oleh Imam
Muhammad bin Ali bin Husain itu telah menimbulkan rasa kagum pada diri
orang Nasrani tersebut, sehingga akhirnya diapun bertaubat untuk tidak
mengulangi lagi perangai buruknya itu dan menyatakan dirinya masuk ke
dalam agama Islam.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah
s.a.w bersabda: Kekuatan itu tidak dibuktikan dengan kemenangan yang
terus menerus
Tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika sedang marah. [Bukhari & Muslim]
Innallaha Ma’ashobirin: Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Dia besar dalam suasana kesusahan. Ibundanya pergi ketika usianya
terlalu muda dan masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Sejak itu,
dialah yang mengambil alih tugas mengurus rumahtangga seperti memasak,
mencuci dan menguruskan keperluan ayahandanya.
Di balik kesibukan itu, dia juga adalah seorang yang paling kuat
beribadah. Keletihan yang ditanggung akibat seharian bekerja
menggantikan tugas ibunya yang telah pergi itu, tidak pula menghalang
Sayidatina Fatimah daripada bermunajah dan beribadah kepada Allah SWT.
Malam- malam yang dilalui, diisi dengan tahajud, zikir dan siangnya pula
dengan sembahyang, puasa, membaca Al Quran dan lain-lain. Setiap hari,
suara halusnya mengalunkan irama Al Quran.
Di waktu umurnya mencapai 18 tahun, dia dikawinkan dengan pemuda yang
sangat miskin hidupnya. Bahkan karena kemiskinan itu, untuk membayar
mas kawin pun suaminya tidak mampu lalu dibantu oleh Rasulullah SAW.
Setelah berkawin kehidupannya berjalan dalam suasana yang amat
sederhana, gigih dan penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Digelari
Singa Allah, suaminya Sayidina Ali merupakan orang kepercayaan
Rasulullah SAW yang diamanahkan untuk berada di barisan depan dalam
tentera Islam. Maka dari itu, seringlah Sayidatina Fatimah ditinggalkan
oleh suaminya yang pergi berperang untuk berbulan-bulan lamanya. Namun
dia tetap ridho dengan suaminya. Isteri mana yang tidak mengharapkan
belaian mesra daripada seorang suami. Namun bagi Sayidatina Fatimah
r.ha, saat-saat berjauhan dengan suami adalah satu kesempatan
berdampingan dengan Allah SWT untuk mencari kasih-Nya, melalui
ibadah-ibadah yang dibangunkan.
Sepanjang kepergian Sayidina Ali itu, hanya anak-anak yang masih
kecil menjadi temannya. Nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya Hassan,
Hussin, Muhsin, Zainab dan Umi Kalsum diusahakan sendiri. Untuk
mendapatkan air, berjalanlah dia sejauh hampir dua batu dan mengambilnya
dari sumur yang 40 hasta dalamnya, di tengah teriknya matahari padang
pasir. Kadangkala dia lapar sepanjanghari. Sering dia berpuasa dan
tubuhnya sangat kurus hingga menampakkan tulang di dadanya.
Pernah suatu hari, ketika dia sedang tekun bekerja di sisi batu
pengisar gandum, Rasulullah datang berkunjung ke rumahnya. Sayidatina
Fatimah yang amat keletihan ketika itu lalu menceritakan kesusahan
hidupnya itu kepada Rasulullah SAW. Betapa dirinya sangat letih bekerja,
mengangkat air, memasak serta merawat anak-anak. Dia berharap agar
Rasulullah dapat menyampaikan kepada Sayidina Ali, kalau mungkin boleh
disediakan untuknya seorang pembantu rumah. Rasulullah saw merasa
terharu terhadap penanggungan anaknya itu. Namun baginda amat tahu,
sesungguhnya Allah memang menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya sewaktu
di dunia untuk membeli kesenangan di akhirat. Mereka yang rela bersusah
payah dengan ujian di dunia demi mengharapkan keridhoan-Nya, mereka
inilah yang mendapat tempat di sisi-Nya. Lalu dibujuknya Fatimah r.ha
sambil memberikan harapan dengan janji-janji Allah. Baginda mengajarkan
zikir, tahmid dan takbir yang apabila diamalkan, segala penanggungan dan
bebanan hidup akan terasa ringan.
Ketaatannya kepada Sayidina Ali menyebabkan Allah SWT mengangkat
derajatnya. Sayidatina Fatimah tidak pernah mengeluh dengan kekurangan
dan kemiskinan keluarga mereka. Tidak juga dia meminta-minta hingga
menyusah-nyusahkan suaminya.
Dalam pada itu, kemiskinan tidak menghilang Sayidatina Fatimah untuk
selalu bersedekah. Dia tidak sanggup untuk kenyang sendiri apabila ada
orang lain yang kelaparan. Dia tidak rela hidup senang dikala orang lain
menderita. Bahkan dia tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari
pintu rumahnya tanpa memberikan sesuatu meskipun dirinya sendiri sering
kelaparan. Memang cocok sekali pasangan Sayidina Ali ini karena Sayidina
Ali sendiri lantaran kemurahan hatinya sehingga digelar sebagai ‘Bapa
bagi janda dan anak yatim di Madinah.
Namun, pernah suatu hari, Sayidatina Fatimah telah menyebabkan
Sayidina Ali tersentuh hati dengan kata-katanya. Menyadari kesalahannya,
Sayidatina Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali.
Ketika dilihatnya raut muka suaminya tidak juga berubah, lalu dengan
berlari-lari bersama anaknya mengelilingi Sayidina Ali. Tujuh puluh kali
dia ‘tawaf’ sambil merayu-rayu memohon dimaafkan. Melihatkan aksi
Sayidatina Fatimah itu, tersenyumlah Sayidina Ali lantas memaafkan
isterinya itu.
“Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedang Ali tidak
memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyembahyangkan jenazahmu,”
Rasulullah SAW memberi nasehat kepada puterinya itu ketika masalah itu
sampai ke telinga baginda.
Begitu tinggi kedudukan seorang suami yang ditetapkan Allah SWT
sebagai pemimpin bagi seorang isteri. Betapa seorang isteri itu perlu
berhati-hati dan sopan di saat berhadapan dengan suami. Apa yang
dilakukan Sayidatina Fatimah itu bukanlah disengaja, bukan juga dia
membentak – bentak, marah-marah, meninggikan suara, bermasam muka, atau
lain-lain yang menyusahkan Sayidina Ali meskipun demikian Rasulullah SAW
berkata begitu terhadap Fatimah.
Ketika perang Uhud, Sayidatina Fatimah ikut merawat luka Rasulullah.
Dia juga turut bersama Rasulullah semasa peristiwa penawanan Kota Makkah
dan ketika ayahandanya mengerjakan ‘Haji Wada’ pada akhir tahun 11
Hijrah. Dalam perjalanan haji terakhir ini Rasulullah SAW telah jatuh
sakit. Sayidatina Fatimah tetap di sisi ayahandanya. Ketika itu
Rasulullah membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah r.ha membuatnya
menangis, kemudian Nabi SAW membisikkan sesuatu lagi yang membuatnya
tersenyum.
Dia menangis karena ayahandanya telah membisikkan kepadanya berita
kematian baginda. Namun, sewaktu ayahandanya menyatakan bahwa dialah
orang pertama yang akan berkumpul dengan baginda di alam baqa’,
gembiralah hatinya. Sayidatina Fatimah meninggal dunia enam bulan
setelah kewafatan Nabi SAW, dalam usia 28 tahun dan dimakamkan di
Perkuburan Baqi’, Madinah.
Demikianlah wanita utama, agung dan namanya harum tercatat dalam
al-Quran, disusahkan hidupnya oleh Allah SWT. Sengaja dibuat begitu oleh
Allah kerana Dia tahu bahawa dengan kesusahan itu, hamba-Nya akan lebih
hampir kepada-Nya. Begitulah juga dengan kehidupan wanita-wanita agung
yang lain. Mereka tidak sempat berlaku sombong serta membangga diri atau
bersenang-senang. Sebaliknya, dengan kesusahan-kesusahan itulah mereka
dididik oleh Allah untuk senantiasa merasa sabar, ridho, takut dengan
dosa, tawadhuk (merendahkan diri), tawakkal dan lain-lain. Ujian-ujian
itulah yang sangat mendidik mereka agar bertaqwa kepada Allah SWT.
Justru, wanita yang sukses di dunia dan di akhirat adalah wanita yang
hatinya dekat dengan Allah, merasa terhibur dalam melakukan ketaatan
terhadap-Nya, dan amat bersungguh-sungguh menjauhi larangan-Nya, biarpun
diri mereka menderita.
Suatu ketika, apabila Nabi Muhammad SAW sampai ke masjid untuk
mendirikan salat, Baginda SAW mendapati beberapa sahabat sedang tertawa.
Baginda SAW berkata, “Kalau kamu selalu mengingat maut, sudah tentu aku
tidak mendapati kamu semua dalam keadaan demikian. Pada setiap masa
kamu hidup, kamu pasti mengingat maut. Setiap waktu, tanah pekuburan
memekik mengatakan, “Aku ini merupakan semak belukar. Aku dipenuhi
dengan debu. Aku ini penuh dengan serangga.”
Apabila seorang mukmin dikebumikan di dalamnya, bumi berkata “Aku
ucapkan selamat datang kepadamu. Di antara manusia yang bertebaran di
atas muka bumi ini, engkaulah yang paling aku sukai. Sungguh baik hatimu
karena mau memasuki aku. Sekarang, lihatlah bagaimana aku menghibur
hatimu.”
Kemudian, bumi membesar sejauh mata memandang. Sebuah pintu surga
terbuka di hadapannya. Melalui pintu itulah, harum bau-bau yang semarak
menyusupi lubang hidungnya.
Tetapi, apabila seorang yang jahat dimasukkan ke dalamnya, bumi akan
berkata, “Tidak ada kata sambutan buatmu. Di antara manusia yang hidup
di dunia, engkaulah yang paling aku benci. Sekarang, lihatlah
pemberianku kepadamu.”
Kemudian, dia diimpit oleh bumi sehingga tulang-tulang rusuknya
saling meremukkan antara satu sama lain. Sebanyak tujuh puluh ekor ular
akan mematuknya sampai hari kiamat. Ular-ular tersebut sangat berbisa.
Sehingga, kalau seekor di antaranya menyemburkan bisanya di permukaan
bumi, tidak ada sehelai rumput pun tumbuh. Lalu, Rasulullah SAW berkata,
“Kubur dapat merupakan salah satu pintu surga atau salah satu lubang
neraka.”
Sifat takut kepada Allah SWT pasti terdapat pada manusia yang
benar-benar beriman. Sifat takut itu diwujudkan dan dipupuk sehingga
tumbuh dengan subur kalau kita dalam kehidupan kita sehari-hari dapat
mengingat MATI.
Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penggembala domba.
Jumlah domba yang dia gembalai berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun
dia bekerja tanpa pernah mengeluh meski hasil jerih payahnya tak
seberapa.
Suatu ketika, datang seorang musafir yang sangat kehausan setelah
menempuh perjalanan jauh. Melihat ada pengembala domba tersebut,
gembiralah hati musafir itu. Sang musafir meminta minum kepada si pemuda
penggembala tersebut. Namun, pemuda itu menjawab bahwa dirinya tak
punya air minum untuk diberikan kepada si musafir.
Musafir tersebut kemudian memohon memelas agar diizinkan mengambil
air susu dari seekor domba yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda
tersebut menolak dengan halus. “Ayolah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku
sangat haus. Izinkan aku untuk memerah dombamu sekadar beberapa teguk
untuk menghilangkan dahagaku,” ujar sang musafir. Pemuda itu menjawab,
“Domba-domba ini bukan kepunyaanku, aku tak berani mengizinkan engkau
sebelum majikanku mengizinkannya.”
Pemuda mengatakan, “Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar.
Kucarikan telaga dan kuambilkan air untukmu, saudaraku.” Kemudian,
pergilah pemuda tersebut mencarikan air untuk sang musafir. Setelah
dapat, diberikannya air itu kepada si musafir. “Alhamdulillah, segar
sekali rasanya,” kata sang musafir. “Terima kasih wahai anak muda,”
lanjut musafir itu.
Kemudian, mereka sejenak beristirahat sambil berbagi kisah. Siang
semakin terik. “Mengapa kau tadi tidak ikut minum,” tanya musafir kepada
pemuda tadi. “Maaf, saya sedang berpuasa,” jawab si pemuda. Musafir itu
tercengang mendengar pengakuan pemuda tersebut. “Matahari semakin
tinggi, sedangkan engkau berpuasa?” tanya musafir itu penuh tanya.
Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah menaungi
diriku pada saat hari kiamat nanti. Karena itu, aku berpuasa.”
Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin mengetes keimanan
sang pemuda penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, “Hai anak
muda, bolehkah aku membeli seekor saja dombamu. Aku lapar, tolonglah
aku.”
“Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku,” kata pemuda itu.
“Ayolah anak muda. Domba yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah
tuanmu tidak akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat
lapar, tolonglah aku,” rayu musafir tersebut.
“Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau saja aku memiliki makanan, tentu
akan kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk
melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan tuan,” ucap pemuda tersebut.
“Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham
untukmu untuk seekor domba saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?”
kata musafir itu yakin bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap
seribu dirham.
Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor dombanya. Bahkan, musafir itu tambah gusar dan marah.
Akhirnya, pemuda itu berkata, “Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau
aku menjual seekor dombanya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan
mungkin saja, majikanku tidak akan menanyakan domba-dombanya. Dia tidak
akan rugi meski aku menjual seekor di antara domba kepunyaanya. Tapi,
kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana Allah? Di mana
Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka karena
uang yang tidak halal bagiku.”
Pemuda itu menangis karena takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia menangis karena kecintaanya kepada Allah.
Musafir tersebut tertegun. “Allahu akbar!!” musafir itu ikut menangis.
“Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli seekor dombanya,” kata musafir tersebut.
Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi,
musafir itu memberikan uang seribu dirham tadi kepada si pemuda.
“Terimalah uang ini untukmu, anakku. Ini uang halal. Kau pantas
mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu mulia.” Sang musafir yang
tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke rumah
majikan sang pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan
memerdekakannya dari status hamba sahaya.
Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami.
Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut
kepada Allah tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu
dengan materi. Duniawi tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu karena
keteguhan iman yang hakiki.
Asma binti Abu Bakar, turut dikenali sebagai wanita besi yang berumur
panjang. Nama wanita ini pendek sahaja, tetapi, perjalanan hidupnya
tidak pendek seperti namanya. Allah memberinya umur panjang dan
kecerdasan berfikir, hingga dia dapat mewarnai perjalanan hidup generasi
tabiin (pengikut Rasulullah) dengan perjalanan kehidupan pada zaman
Rasulullah. Asma’, termasuk kelompok wanita yang pertama masuk Islam.
Permulaan Asma’ tidak boleh dipisahkan dengan peristiwa hijrah
Rasulullah dan ayahnya Abu Bakar.
Dialah yang mengirimkan bekalan makanan dan minuman kepada mereka.
Lantaran peristiwa inilah, Asma’ digelar sebagai “dzatun nithaqain” yang
membawa maksud wanita yang mempunyai dua ikat pinggang.
Gelaran ini diberikan ketika Asma’ hendak mengikat karung makanan dan
tempat minuman yang akan dikirim kepada Rasulullah dan Abu Bakar. Pada
waktu itu, Asma’ tidak memiliki tali untuk mengikatnya, maka dia
memotong ikat pinggangnya menjadi dua,satu untuk mengikat karung makanan
dan satu lagi untuk mengikat tempat air minum. Ketika Rasulullah
mengetahui hal ini, baginda berdoa semoga Allah akan menggantikan ikat
piinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di
syurga.
Asma’ berkahwin dengan Zubir bin Awwam, seorang pemuda dari golongan
biasa yang tidak memiliki harta, kecuali seekor kuda. Namun demikian,
Asma’ tidak kecewa. Dia tetap setia melayan suaminya. Sekiranya suaminya
sibuk menyebarkan tugas daripada Rasulullah, Asma’ tidak segan merawat
dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya. Hasil
perkahwinannya, Allah menganugerahi mereka seorang anak yang cerdas yang
diberi nama Abdullah bin Zubir.
Asma’ memiliki beberapa sifat istimewa. Selain cantik, dia mempunyai
sifat yang hampir sama dengan dengan saudaranya Aisyah, cerdas, pantas
dan lincah. Sifatnya yang pemurah menjadi teladan kepada ramai orang.
Waktu terus berlalu, anaknya Abdullah bin Zubir diangkat menjadi
Khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awwiyah yang wafat. Bani Umaiyah
tidak rela dengan kepemimpinan Abdullah bin Zubir. Mereka menyiapkan
tentera yang besar dalam pimpinan Panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
untuk menggulingkan Khalifah Abdullah bin Zubir. Perang di antara dua
kekuatan itu tidak dapat dihindari.Lalu, Abdullah bin Zubir turun ke
medan perang untuk memimpin pasukannya.
Tetapi, tenteranya belot dan pergi kepada pihak Bani
Umaiyah.Akhirnya, dengan jumlah tentera yang sedikit, pasukan Abdullah
binZubir undur ke Baitul Laham, bersembunyi di bawah Kaabah. Beberapa
saatsebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubir menemui ibunya. Ibunya
bertanya,”Mengapa engkau datang ke sini, padahal batu besaryang
dilontarkan pasukan Hajjaj kepada pasukanmu menggetarkan seluruhkota
Makkah? “Aku datang hendak meminta nasihat daripada ibu,” jawab Abdullah
dengan rasa hormat. “Mengenai apa?” tanya Asma’ lagi. “Tentera aku
banyak yang belot.Mungkin kerana takut kepada Hajjaj atau mungkin juga
merekamenginginkan sesuatu yang dijanjikan.
Tentera yang ada sekarangnampaknya tidak akan sabar bertahan lebih
lama bersama aku. “Sementara itu, utusan Bani Umaiyah menawarkan
kepadaku apa sajayang aku minta berupa kemewahan dunia, asal aku
bersedia meletakkansenjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik
bin Marwan sebagaiKhalifah. Bagaimana pendapat ibu?”tanya Abdullah.
Asma’ menjawab dengansuara tinggi,”Terserah engkau, wahai Abdullah!
Bukankah engkau sendiriyang lebih tahu tentang dirimu. ”Apabila engkau
yakin dalam kebenaran, maka teguhkan hatimu sepertitentera engkau yang
gugur.
Tetapi apabila engkau menginginkan kemewahan dunia, tentu engkau
seorang lelaki yang pengecut. Bererti engkau mencelakakan diri sendiri,
menjual murah sebuah kepahlawanan.”
Abdullah bin Zubir, menundukkan kepala di depan ibunya yang kecewa.
Ibunya, walaupun tua dan buta, namun Abdullah seorang khalifah dan
panglima yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya kerana
rasa hormat dan kasih kepadanya. “Tetapi aku akan terbunuh hari ini,
ibu,”kata Abdullah lembut. “Itu lebih baik bagimu, daripada engkau
menyerahkan diri kepadaHajjaj.
Akhirnya kepala kamu akan dipijak-pijak oleh Bani Umaiyah dengan
memberikan janji mereka yang sukar untuk dipercayai,”kata ibunya tegas.
“Aku tidak takut mati, ibu! Tetapi aku khuatir mereka akan mencincang
dan merobek-robek jenazah aku dengan kejam,” ujar Abdullah lagi. “Tidak
ada apa yang perlu ditakuti dengan perbuatan orang hidup terhadap orang
mati. Bukankah kambing yang disembelih tidak merasa sakit lagi ketika
disiat?” jawab Asma’. “Yang ibu khuatir kalau engkau mati di jalan yang
sesat,” sambung Asma’ lagi. “Percayalah ibu, aku tidak memiliki fikiran
sesat untuk melakukan perbuatan keji. Aku tidak akan melanggar hukum
Allah. Aku bukan pengecut dan aku lebih mengutamakan keredhaan Allah dan
keredhaan ibu,” ucap Abdullah bersemangat.
Nasihat Asma’ memberi semangat kepada Abdullah untuk mempertahankan
dan membela kebenaran. Sebelum matahari terbenam, Abdullah mati syahid
menemui Allah.
Suatu subuh, saat terbangun dari tidurnya, Aisyah ra tidak mendapati
suaminya, Rasulullah SAW. Aisyah ra panik dan bingung. Ketika membuka
pintu rumahnya, dia kaget mendapati Rasulullah tidur di depan pintu.
Aisyah lalu bertanya, “Kenapa engkau tidur di luar suamiku?” Rasulullah
SAW lantas menjawab, “Semalam aku pulang telah larut. Aku takut
mengganggu tidurmu. Sehingga, aku tidur di sini.”
Sederhana, namun penghormatan Rasullah SAW kepada istrinya tersebut
menyimpan makna mendalam bagaimana seharusnya suami memperlakukan
istrinya. Selain aktivitasnya dalam berdakwah, Rasulullah SAW tidak
mengabaikan keluarganya. Nabi pun membantu istrinya membersihkan rumah,
memerah susu unta, dan mengasuh cucunya, yakni Hasan dan Husen.
Pernah, Rasulullah dilempari kotoran oleh orang-orang Quraisy, bahkan
dilempari batu hingga wajahnya berdarah. Namun, Nabi menghadapi
perlakuan itu dengan mendoakan mereka. Nabi berdoa, “Ya Allah, ampunilah
mereka. Mereka berbuat seperti itu karena tidak tahu.” Siksaan dan
teror yang menjadi-jadi tidak membuat semangat Nabi SAW dalam berdakwah
surut. Bahkan, Umar bin Khattab yang sangat ditakuti oleh Suku Quraisy
pun menawarkan diri untuk membunuh orang-orang yang mengganggu Nabi,
tapi Nabi melarangnya. Cinta Nabi SAW tidak memandang kepada siapa cinta
itu diberikan. Tak peduli kepada orang yang telah menyakiti beliau
sekalipun. Subhanallah.
Perut Nabi SAW yang kurus dan dibebat kain berisi batu adalah hal
yang membuat miris para sahabat pada saat-saat menjelang Nabi SW wafat.
Betapa tidak, jika Rasulullah SAW mau, harta, kedudukan, uang, dan
makanan paling lezat pun siap tersaji untuknya. Namun, Rasulullah pun
menolak kenikmatan itu semua. Rasulullah SAW tidak mau dilebihkan hanya
karena dia seorang pemimpin. Mencintai kaum fakir miskin, dekat dengan
anak-anak yatim, sopan dalam berhadapan dengan siapa saja, dan santun
segala tindak tanduknya menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin yang
disegani oleh siapa pun.
Kini, telah ratusan abad Rasulullah SAW meninggalkan umatnya, umat
akhir zaman. Namun, kelembutan dan cinta Nabi SAW kepada umatnya tetap
menjadi sejarah yang tak akan bisa lekang ditelan zaman sampai kiamat
datang. Dia mewariskan kepribadian agung serta dua titipan untuk
dijadikan pedoman hidup, yakni Alquran dan sunahnya.
Angin berembus tenang menyapu padang pasir yang mahaluas. Bila malam
tiba, cahaya bintang mengangguk ramah ditemani rembulan yang memancar
keindahan akhlak Nabi SAW. Menabur cinta sepanjang masa. Alam berzikir.
Dan menitipkan salam paling mesra kepada Rasulullah SAW. Jatuhan tetes
air mata tak mudah terbendung mengenang perjuangan dan pengorbanannya.
“Kami merindukanmu, yaa Rasulullah..”
Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sahbihi wasallim.
Setiap anak wajib berbakti kepada ibu bapak, lebih-lebih lagi bagi
orang Islam yang sangat dituntut untuk berbuat baik terhadap orang
tuanya.
Ini sebagaimana ditegaskan pada ayat 36, dari surah an-Nisa yang artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada orang tua (ibu bapak)”
Penegasan ini disusuli dengan sabda Rasulullah s.a.w sebagaimana
dinyatakan oleh at-Tabrani, artinya: “Berbaktilah kamu kepada dua ibu
bapak kamu agar anak-anakmu kelak akan berbakti kepadamu. Dan
peliharalah dirimu daripada perzinaan agar isteri-isterimu memelihara
diri nya.”
Berbakti kepada ibu bapak adalah wajib karena ia hukum Allah. Anak
yang enggan berbakti kepada dua ibu bapanya dianggap anak derhaka dan
perbuatan derhaka adalah dosa besar.
Derhaka kepada ibu bapak termasuk dalam empat dosa besar. Keadaan ini
jelas berdasarkan kata-kata nabi yang dinyatakan Bukhari:
“Sebesar-besar (daripada) dosa besar adalah me nyekutukan Allah,
membunuh manusia, derhaka kepada ibu bapak dan menjadi saksi palsu.”
Perintah Islam supaya anak berbuat baik kepada ibu bapak adalah
perintah yang wajar. Baru saja tiga bulan hamil, si ibu menghadapi
pelbagai keperitan. Badan selalu letih, kepala pening dan selalu loya.
Apabila kandungan semakin besar, hatinya diganggu was-was, khuatir
dan penuh persoalan. Apa akan terjadi kepada anak yang bakal dilahirkan?
Apakah laki-laki atau perempuan? Apakah sempurna anggotanya badannya?
Tiba detik melahirkannya, perasaan ibu bertambah gelisah. Khawatir
keselamatan diri dan anak sentiasa menghantui fikiran. Tetapi segala
kerisauan, kebimbangan dan kesakitan terobati ketika mendengar tangisan
bayi yang dilahirkan.
Dimulai ari anak yang sebesar telapak tangan itu, ibu bapak tidak
pernah mengeluh membesarkan anaknya dengan kasih sayang tidak terbagi.
Makan, minum, pakaian, pendidikan dan segala keperluan dipenuhi,
sehingga anak kecil tadi menjadi seorang kanak-kanak, remaja dan dewasa
sebanding dengan ibu bapaknya.
Jasa ibu bapaklah menjadikan si anak mengenal dan mengecap nikmat
dunia, dapat menggali khazanah dunia serta mendalami ilmu lain. Justru,
sudah selayaknya ibu bapak dimuliakan, dibaluti dengan kasih sayang
sebagaimana mereka mencurahkan kasih kepada anaknya yang kecil dulu.
Anak yang enggan berbakti kepada ibu bapak adalah anak durhaka, yang
menerima balasan buruk. Ini sebagaimana dapat dipahami dari hadis yang
diceritakan Tabrani: “Dua (kejahatan) yang akan dibalas oleh Allah di dunia ini adalah zina dan derhaka kepada dua ibu bapa.”
Ada banyak contoh yang memberi pelajaran betapa azab yang ditanggung
anak durhaka di dunia. Siksa ini datang dalam bentuk penderitaan, baik
rohani atau jasmani, sukar mencari nafkah, gagal mendapatkan pekerjaan
dan tiada ketenteraman dalam kehidupan.
Kisah Wail bin Khattab pada zaman Nabi Muhammad s.a.w, satu peristiwa
yang dapat dijadikan teladan. Disebabkan terlalu mencintakan isteri,
Wail selalu mencaci ibunya, mempercayai segala yang dilaporkan isterinya
berkaitan ibunya.
Waktu Wail menghadapi kematian, dia mengalami penderitaan sakit yang
tidak terhingga. Dia sekarat hingga keluar keringat dingin membasahi
seluruh badan. Mati tidak, sembuh pun tidak ada harapan.
Selama berpuluh hari dia berada dalam keadaan demikian. Matanya merah
menyala, mulutnya terbuka lebar tetapi kerongkongnya tersumbat sehingga
tidak terdengar jeritan, manakala kaki dan tangannya kaku.
Sahabat menunggu kematiannya, namun tidak tiba. Mereka berasa terharu
melihat penderitaan yang dihadapi Wail. Mereka bersilih ganti
mengajarkan Wail mengucap kalimah syahadah, namun semuanya buntu.
Wail mencoba segala upaya mengucap dua kalimah syahadah tetapi yang
kedengaran dari mulutnya hanya perkataan “oh, oh, oh, oh”. Keadaan
semakin mengerikan.
Akhirnya seorang sahabat Ali bin Abi Talib menemui Nabi dan
menceritakan keadaan Wail. Nabi Muhammad meminta Ibunda Wail dijemput
menemui beliau. Nabi ingin mengetahui bagaimana keadaan dan perlakuan
Wail terhadap ibunya sebelum sakit.
Ketika ditanya, ibu Wail menyatakan anaknya sentiasa mencaci lantaran
hasutan isterinya. Dia percaya dan mengikut apa saja yang dilaporkan
isterinya tanpa usul periksa. Ini menyebabkan ibunya berasa sakit hati
kepadanya.
Nabi Muhammad s.a.w memujuk Ibunda Wail supaya segera mengampuni dosa
anaknya yang durhaka. Tetapi perempuan itu berkeras tidak mau
memenuhinya. Dia berkata, air matanya belum kering lantaran perbuatan
Wail yang menyakitkan hatinya.
Melihat keadaan itu, Nabi termenung seketika. Kemudian, baginda
memerintahkan sahabat mengumpul kayu api. Wail akan dibakar hidup-hidup.
Nabi Muhammad menyatakan, jika ibu Wail tidak mau memaafkan dosa
anaknya, Wail akan menderita menghadapi maut dalam jangka masa yang
tidak pasti.
Mendengar kata-kata Nabi itu, ibu Wail segera berkata: “Wahai
Rasulullah, jangan dibakar dia. Wail anakku. Aku telah ampuni dia.
Kesalahannya aku telah maafkan.”
Menurut sahabat, setelah Wail diampuni Ibundanya, wajahnya langsung
berubah. Akhirnya dia dapat mengucap syahadah dan menghembuskan nafas
terakhir.
Al-Qasim menuturkan, “Jika aku pergi, maka aku mampir terlebih dahulu
ke rumah Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Suatu hari aku
pergi, ternyata ia berdiri dalam keadaan bertasbih dan membaca firman
Allah SWT, ‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.’ (Ath-Thur: 27).
Ia berdoa dan menangis seraya mengulang-ulang ayat tersebut, sehingga
aku jemu berdiri, lalu aku pergi ke pasar untuk keperluanku. Kemudian
aku kembali, ternyata ia masih berdiri seperti sediakala dalam keadaan
shalat dan menangis.”
Itulah Aisyah Ummul Mukminin RHA yang dizhalimi orang-orang muslim
menurut zhahirnya, padahal mereka sebenarnya adalah kaum munafik, dalam
peristiwa berita dusta yang nyaris menghancurkan rumah tangga Nabi SAW
dalam peristiwa yang menyakitkan dari pihak kaum munafik dan kaum yang
berakhlak buruk yang tidak memperhatikan bahwa dia adalah istri Nabi SAW
dan bahwa dia dizhalimi, padahal dia lebih suci daripada mereka. Tetapi
ini adalah fitnah yang sepanjang zaman selalu menampakkan bisa dan
kuman yang ingin mencemari orang-orang bersih dan orang-orang baik
secara zhalim dan dusta. Tetapi orang yang dizhalimi tidak bisa berbuat
apa-apa selain menuju dan bersandar ke haribaan Allah SWT. Berapa banyak
kita mendengar manusia hina memfitnah orang-orang baik dengan tuduhan
dusta padahal mereka terbebas dari semua tuduhan tersebut, kecuali
karena mereka kaum yang shalih, mendapatkan taufik dan meraih
kesuksesan. Manusia yang hina, mereka sebenarnya bukanlah manusia,
tetapi setan pengecut yang dengki dan hasad terhadap setiap orang yang
diberi taufik oleh Allah SWT. Orang-orang yang mengigau ini tidak
mempunyai senjata kecuali memberitakan melalui berbagai surat kabar kaum
sekuler yang hina seperti mereka. Mereka lupa bahwa Allah SWT
Memberikan balasan lagi Mahaperkasa, Dia menangguhkan dan bukan
membiarkan. Mahabenar Allah, ketika berfirman, “Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” (Thaha: 61).
Dusta adalah senjata kaum pengecut, kaum munafik, dan manusia yang
hina. Karena itu, Aisyah SAW menangis siang malam, karena masalahnya
sungguh menyakitkan, mengapa orang yang tidak bersalah dan tidak pernah
menyakiti siapa pun dituduh.
Lebih terkutuk dari kezhaliman ini adalah menuduh berzina wanita yang
baik-baik lagi beriman. Kemudian datang pembebasan terhadap Ummul
Mukminin Aisyah SAW dari atas tujuh langit di dalam al-Qur’an yang akan
selalu dibaca hingga Hari Kiamat, sehingga setiap munafik lagi pendusta
terdiam. Demikianlah Ummul Mu’minin terbebas dari berita dusta yang
ditebarkan oleh kaum munafik yang tidak menginginkan kebaikan tetapi
menginginkan fitnah. Bagi Merekalah hukuman di dunia dan akhirat, serta
mereka diancam al-Qur’an dengan adzab yang pedih. Mahabenar Allah SWT,
ketika berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita
bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagimu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar.”(An-Nur: 11)
Demikianlah air mata Ummul Mukminin Aisyah RHA tumpah demi
mengharapkan pahala dan berlindung kepada Dzat yang tiada tempat
berlindung kecuali kepadaNya sehingga dia mendapatkan pembebasan dari
Allah SWT.
***